Halaman

EMPOWERMENT OF LIFE

Kamis, 28 Maret 2013

DUA BAYI DALAM PALUNGAN



http://yesaya.indocell.net/1x1.gif

http://yesaya.indocell.net/1x1.gif



Pada tahun 1994, dua orang misionaris Amerika mendapat undangan dari Departemen Pendidikan Rusia untuk mengajar Moral dan Etika berdasarkan prinsip-prinsip Alkitab. Mereka mengajar di penjara-penjara, kantor-kantor, departemen kepolisian, pemadam kebakaran dan di panti asuhan.

Panti Asuhan yang mereka kunjungi cukup besar dengan sekitar seratus anak laki-laki dan perempuan yatim piatu penghuninya. Mereka adalah anak-anak yang dibuang, ditinggalkan dan sekarang dirawat dalam program pemerintah.

Inilah kisah para misionaris tersebut:

"Waktu itu menjelang Natal 1994, saatnya anak-anak yatim piatu kita - untuk pertama kalinya - mendengarkan kisah Natal. Kami bercerita tentang Maria dan Yusuf, bagaimana setibanya di Bethlehem, mereka tidak mendapatkan penginapan hingga mereka akhirnya menginap di sebuah kandang hewan. Di kandang hewan itulah akhirnya Bayi Yesus lahir dan dibaringkan bunda-Nya dalam sebuah palungan.

Sepanjang kisah itu, anak-anak maupun pengurus panti asuhan begitu tegang; mereka terpukau dan takjub mendengarkan Kisah Natal. Beberapa anak bahkan duduk di tepi depan kursi seakan agar bisa lebih menangkap setiap kata. Selesai bercerita, setiap anak kami beri tiga potong kertas karton untuk membuat palungan. Mereka juga mendapat sehelai kertas persegi, sobekan dari kertas napkin kuning yang kami bawa. Anak-anak amat senang menerimanya karena di kota itu belum ada kertas berwarna.

Sesuai petunjuk, anak-anak mulai menggunting kertasnya dengan hati-hati lalu kemudian menyusun guntingan-guntingan kertas kuning sebagai jerami dipalungan. Potongan-potongan kecil kain flannel, yang digunting dari gaun malam seorang ibu Amerika yang telah meninggalkan Rusia, dipakai sebagai selimut bayi. Bayi kecil mirip boneka pun digunting dari lembaran felt yang kami bawa dari Amerika.

Semua anak sibuk menyusun palungannya masing-masing. Saya berjalan di antara mereka untuk melihat kalau-kalau ada yang membutuhkan bantuan. Semuanya tampak lancar dan baik-baik saja, hingga saya tiba di meja si kecil Misha. Misha adalah seorang anak laki-laki berusia sekitar enam tahun. Ia telah selesai mengerjakan proyeknya.

Ketika saya mengamati palungan bocah kecil ini, saya merasa terkejut bercampur heran. Ada dua bayi dalam palungan Misha. Cepat-cepat saya memanggil seorang penerjemah untuk menanyakan hal ini kepada Misha. Dengan melipat kedua tangannya di meja, dan sambil memandangi karyanya itu, Misha mulai mengulang Kisah Natal dengan amat serius.

Bagi anak sekecil dia, yang baru sekali saja mendengarkan Kisah Natal, ia menceritakan semua rangkaian kejadian dengan amat cermat dan teliti, hingga ia tiba pada bagian di mana Maria membaringkan Bayinya dalam palungan. Mulailah Misha bergaya. Ia membuat sendiri penutup akhir Kisah Natalnya. Katanya:

'Dan ketika Maria membaringkan Bayinya dipalungan, Bayi Yesus melihat aku. Ia bertanya apakah aku punya tempat tinggal. Aku katakan kepada-Nya bahwa aku tidak punya mama dan juga tidak punya papa, jadi aku tidak punya tempat tinggal. Kemudian Bayi Yesus mengatakan bahwa aku boleh tinggal bersama Dia. Tetapi aku katakan bahwa aku tidak bisa. Bukankah aku tidak punya apa-apa yang bisa kuberikan sebagai hadiah kepada-Nya seperti yang dihadiahkan orang-orang dalam kisah itu?

Tetapi aku begitu ingin tinggal bersama-Nya, jadi aku berpikir-pikir, "Apa ya, yang aku punya yang bisa dijadikan hadiah untuk-Nya." Aku pikir, barangkali kalau aku membantu membuat-Nya merasa hangat, itu bisa jadi hadiah yang bagus.

Jadi aku bertanya kepada Yesus, "Kalau aku menghangatkan-Mu, apakah itu bisa dianggap sebagai hadiah?"  Dan Yesus menjawab, "Kalau kamu menjaga dan menghangatkan Aku, itu akan menjadi hadiah terindah yang pernah diberikan siapapun pada-Ku."  

Demikianlah, aku menyusup masuk dalam palungan itu. Yesus memandangku dan berkata bahwa aku boleh kok tinggal bersama-Nya untuk selamanya.'
Saat si kecil Misha selesai bercerita, kedua matanya telah penuh air mata yang kemudian meleleh membasahi pipinya yang mungil.  Wajahnya ia tutupi dengan kedua tangannya, kepalanya ia jatuhkan ke atas meja. Seluruh tubuh dan pundaknya berguncang hebat saat ia menangis dan menangis.

Yatim piatu yang kecil ini telah menemukan seseorang yang tak akan pernah melupakan serta meninggalkannya, yaitu seseorang yang akan tinggal bersamanya dan menemaninya - untuk selamanya."

Jumat, 15 Maret 2013

7 Sabda Yesus diSalib



7 Sabda Yesus Di Salib
Renungan Jumat Agung

Pdt. Darius Rinaldi Sembiring MTh

 Dalam tradisi abad pertengahan, 7 kata terakhir Yesus menjadi sebuah doa devosi bagi umat untuk memaknai misteri penderitaan dan wafat Kristus.
 1.      “Tuhan, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk. 23:34).
Kata-kata itu merangkum  bagaimana kekuatan kasih Allah yang mengatasi prasarat apapun. Yesus pernah bersabda, “kalau kamu hanya mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi orang yang membenci kamu!”
Di atas kayu salib, Yesus mempraktekkan sabdaNya sendiri dengan meminta ampun pada bapa atas perbuatan orang-orang yang menyalibkan dia. Sebelum memasuki kematian, Yesus ingin berdamai dulu dengan dirinya, termasuk dengan orang-orang yang berbuat jahat kepadannya.
Konflik dan kekerasaan hanya akan meninggalkan luka mendalam dan bekas yang menyayat jika tidak segera disembuhkan. Yesus memberi contoh bagaimana rekonsiliasi harusnya terjadi sedini mungkin, sebelum mendarah daging dan sulit didamaikan.
Berdamai dengan Allah menuntut pula damai dengan sesama dan diri sendiri.
 2.      “Ibu itu anakmu” dan Yesus berkata pada muridNya, “Itu ibumu” (Yoh. 19:25).
Orang yang terlibat dalam sebuah penderitaan dan bersolider dengan mereka yang menderita akan membangunsebuah komunitas baru, komunitas kasih.
Perjalanan Maria dan Yohanes di jalan salib Jesus menyadarkan mereka bahwa mereka tidak sendiri, ada teman dalam perjalanan, ada kawan yang menopang dalam kebimbangan.
Yesus makin menegaskan relasi mereka dan mempersatukan mereka dalam pertautan yang lebih intim antara ibu dan anak..
 3.      “Sungguh hari ini juga engkau bersama aku di firdaus” (Luk 23:43).
Rekonsiliasi membuahkan kehidupan baru. Tak ada kata terlambat bagi setiap orang untuk berbalik lagi pada Allah, asal ia mau bertobat dan mengaku dosa. Penjahat yang ada di samping Yesus menyadari sungguh bahwa hanya rahmat Allah saja yang akhirnya bisa menyelamatkan dia. Dengan rendah hati dia berkata, “Tuhan, ingat aku bila engkau masuk kerajaanMU”.




4.      “Allahku ya Allahku, mengapa engkau meninggalkan daku?” (Mark 15:34)
Salah satu ciri orang zaman modern ini adalah perasaan kesepian dan kesendirian yang mencekam. Meski  kini banyak sekali hiburan dan sarana untuk bersenang-senang, malah disitulah orang bisa makin merasa sendiri dan terasing dari dunianya.
Perasaan sendiri, tak ada kawan, dan sepi juga dialami Yesus dalam penderitaannya di salib. Meski ia tahu bahwa orang-orang yand dia cintai ada disampingnya, akhirnya tetap dia sendiri yang harus menghadapi semua derita itu.
Sering kali orang lari dan tidak tahan menghadapi kesendirian dan kesepian. Orang mencari penghiburan semu, yang akhrnya malah membuat ia makin terpuruk pada kesunyian.
Desolasi hanya dapat dilawan dengan keberanian menatap hidup ini bersama Allah.

5.      “Aku haus” (Yoh 14:28)
Kata-kata ini menggambarkan bagaimana orang tidak akan pernah selesai untuk memenuhi keinginannya. Selalu saja ada rasa “Haus”, entah haus uang, kuasa, tantangan, dsb.
Yesus menolak diberi anggur masam, karena ia dahaga akan Allah. Ia tidak haus akan materi, tapi haus akan Tuhan yang bisa mengisi dan memenuhi kebutuhan rohaninya.
Pernahkah kita juga merasa haus akan Allah? Mencarinya dalam kehidupan di tengah kesibukan? Ataukah kita haus akan yang lain, yang hanya memberi kepuasan sementara saja.

6.      “Sudah selesai” (Yoh. 19:30)
Kata-kata ini hanya dipunya oleh orang yang sudah matang, merasa bahwa semua cukup dan tak akan berlebihan. Sudah selesai itu menandakan sesuatu yang “menep”, tak ingin lagi ada impian, harapan yang belum terwujud, atau kehendak yang ingin dipenuhi.
Orang yang bisa mengatakan “sudah selesai” adalah orang yang bisa mengerti mana yang dia butuhkan, dan dia inginkan karena itu penting dan urgent.

7.      “Ke dalam tanganMu kuserahkan jiwaku” (Luk 22:46).
Akhirnya ketika semua sudah selesai, orang hanya bisa berpasrah pada Allah. Seperti halnya Simeon yang melihat bayi Yesus, dia berkata, “sekarang Tuhan perkenankanlah hambamu berpulang karena aku sudah melihat keselamatanMu”.
Misteri Jumat Agung mengantar orang masuk pada misteri kehidupan manusia yang paling dasar, hidup dan kematian, relasi dan kesendirian, kepasrahan dan pemberontakan. 7 Sabda terakhir Yesus merangkum semua itu dan mengajak kita untuk terus bermenung sembari berjiarah mengikuti salibnya!
Selamat menyambut Paskah
Data Penulis
Nama              : Pdt Darius Rinaldi Sembirig MTh
T.T.L.               : Medan, 03 Februari 1975
Melayani         : di GBKP Jemaat Jadi Meriah Medan
                          Jl Pintu Air II No 15, Kel. Mangga, Simpang Selayang. Medan
Email               : iusbiring@gmail.com atau darius_pandia@yahoo.com.