RUMAH
SIWALUH JABU :
TEOLOGI
KONTEKSTUAL KARO
Oleh : Pdt Darius Rinaldi Sembiring MTh
GBKP Rg. Jadi Meriah Km 9, Klasis Medan Delitua
1.
PENGANTAR
Salah satu hal
terpenting yang harus diketahui oleh orang-orang Kristen tentang gereja ialah
bahwa gereja adalah bagian Pemerintahan Allah (Kerajaan Allah). Pemerintahan di
mana Allah yang memerintah dan berkuasa atas segala yang ada, termasuk gereja.[1]
Tugas gereja adalah berkomitmen untuk mewartakan, melayani dan bersaksi tentang
pemerintahan itu.[2]
Dengan demikian maka gereja tersebut
telah menerima dan melestarikan jati
dirinya.
Gereja sebagai wujud kehadiran sakramental Pemerintahan
Allah di dunia ini secara kuat terikat pada manusia, sejarah dan kosmos.
Kehadirannya, bila secara otentik mengambil bagian dalam Misi Allah (Missio Dei),[3]
selalu mengkomunikasikan Injil dari bingkai satu kebudayaan tertentu dan bahasa
tertentu kepada bingkai budaya dan bahasa yang lain pula.[4]
Kehadiran sakramental menunjuk kepada tanda-tanda yang terlihat dan berdampak
dari misi Allah bagi manusia beserta ciptaan-Nya yang adalah milik-Nya. Kitab
Kisah Para Rasul dengan jelas memperlihatkan hal ini, di mana gereja tidak saja
tetap terikat dengan berbagai pemikiran
dan simbol Yahudi. Tetapi telah merangkul berbagai pemikiran religius dari luar
Yahudi misalnya pemikiran Greko-Romawi.[5]
Kesetiaan pada misi Allah telah membuat para Pekabar Injil (Rasul) untuk
memasuki konteks-konteks yang baru dengan tetap setia kepada Tuhan.
Kesetiaan – pusat
pewartaan, pelayanan dan kesaksian – terhadap
pemerintahan Allah dalam diri Yesus Kristus telah membentuk ‘jati diri baru’ gereja yang hidup
dalam masa
penantian eskatologis sampai
kedatangan Tuhan yang kedua kalinya.
‘Jati diri baru’ gereja ini terbentuk
dan berasal dari penghayatan iman yang relevan bagi satu
budaya, satu bahasa dengan keunggulan dan keterbatasannya. Dalam kurun waktu yang panjang, ini telah
menempatkan upaya Injil mengakar di berbagai belahan dunia. Misi gereja
dilaksanakan dalam lingkup konkrit pada satu konteks tertentu, namun juga dalam kesetiaan kepada konstanta Injil [6]
serta tradisi teologi, praktik
liturgi dan kehidupan kristiani telah
menghasilkan ‘jati diri baru’ yang kaya
dan beragam.[7]
“Injil yang membumi”
sebagai gambaran dari ‘jati diri baru’ gereja merupakan hal yang penting dalam
mengenal dan memahami Allah bagi gereja dan orang Kristen. Sering sekali
istilah “Injil yang membumi” dihubungkan dengan
kontekstualisasi. Seperti diketahui bahwa memasuki abad ke XX, terutama sesudah Perang
Dunia II, kesadaran tentang pentingnya
peran konteks dalam berteologi menjadi perhatian khusus gereja-gereja secara umum
dan lembaga-lembaga pendidikan secara
khusus.[8]
Dan sebagai puncak dari perhatian ini adalah dengan lahirnya istilah Teologi Kontekstual pada pertemuan Theological Education Fund (TEF) tahun 1972,
yang disampaikan oleh Shoki Coe.[9] Lahirnya
istilah ini memunculkan pandangan baru di dalam berteologi, khususnya bagi gereja-gereja
di Asia. Gereja-gereja Asia semakin menyadari
bahwa perhatian terhadap konteks
di mana gereja-gereja itu hidup
merupakan kebutuhan yang mendesak. Dari waktu ke waktu gereja-gereja semakin
menyadari bahwa gereja membutuhkan pengenalan yang lebih mendalam akan jati diri barunya sebagai gereja yang
hidup di tempat tertentu sekaligus sebagai bagian dari gereja universal. Sehingga
muncullah usaha-usaha kontekstualisasi yang menggali teologi konteks Asia, beberapa
diantaranya adalah Teologi Minjung (Korea), Teologi Kerbau (Kosuke Koyama),
Teologi Dalith (India).[10]
Munculnya teologi
kontekstual pada satu sisi semakin memantapkan gereja dalam mewartakan misi
Allah dalam suatu wilayah dengan konteksnya. Namun pada sisi lain muncul
pendapat-pendapat yang menentang usaha penggalian teologi kontekstual,
khususnya dalam hal ke-otentik-an dan
ke-absah-an instrument teologi. Hwa Yung dalam bukunya Mangoes or Bananas (sebuah pertanyaan terhadap keotentikan Teologi
Kristen Asia) menyimpulkan bahwa Teologia Kristen Asia seperti buah mangga dan pisang. Di mana mangga adalah
gambaran buah asli Asia, berkulit kuning dan isi dalamnya juga kuning. Berbeda
dengan pisang yang berkulit kuning tapi
isinya putih. Mangga adalah simbol keotentikan dan pisang tidak otentik. Justru
Teologi Kristen Asia yang ada saat ini adalah seperti pisang, dan bukan mangga.[11]
Demikian juga halnya dengan ke-absah-an
instrumen teologi, di mana Stephen B.
Bevans mencatat ada 4 (empat) masalah yaitu : metode teologi, kiblat teologi, kriteria ortodoksi dan jati
diri budaya dihadapan teologi.[12] Jika
memang orang dan instrumen yang melakukan teologi kontekstual tidak otentik dan
absah, tentu teologi yang dihasilkan adalah tidak benar. Ini artinya teologi
kontekstual sudah dapat kita kubur saja, karena tidak ada gunanya.
Beranjak dari
pertentangan dan persoalan besar ini, penulis melihat bahwa ada hal yang kurang
dalam melakukan proses teologi kontektualisasi dan ada hal perlu dibenahi dalam
mengaplikasikan teologi kontekstualisasi tersebut. Bagi penulis,
kontekstualisasi tetap merupakan sebuah kebutuhan penting bagi Gereja. Penulis
sependapat dengan pandangan Banawiratma yang mengatakan mengapa gereja
membutuhkan kontekstualisasi, karena: [13]
1.
Penghayatan iman
Kristiani yang berdasarkan pada injil
Yesus Kristus, selalu terjadi pada
situasi, lingkungan, konteks atau
tata budaya tertentu yang konkret. Refleksi atas penghayatan firman Allah
akan berarti jika refleksi itu memperjuangkan keadaan ini (bandingkan Lukas 9:20).
2.
Konteks konkrit
dan tata budaya konkrit tersebut
bukanlah hanya objek yang disapa Injil,
melainkan subjek yang aktif. Nilai-nilai yang terkandung didalamnya dibutuhkan
untuk memperkaya penghayatan Injil Yesus
Kristus.
3.
Menjadi beriman berarti dipanggil untuk menjadi
ciptaan baru. Dalam hidup nyata gereja
dipanggil untuk hidup sebagai ciptaan baru. Ciptaan baru bukanlah barang jadi,
produk upacara pembaptisan melainkan suatu pergulatan terus menerus untuk berada
dimana Kristus ada.
Jadi, dengan pendapat
ini jelas terlihat bahwa gereja membutuhkan kontekstualisasi. Ini artinya
teologi kontekstualisasi perlu dan sangat dibutuhkan gereja untuk menjawab
kebutuhan pelayanannya. Pertanyaan yang
timbul selanjutnya adalah bagaimana
cara menghasilkan sebuah teologi kontekstual yang baik dan benar?
Sehubungan dengan ini – melalui konsep-konsep teologi kontekstualisasi yang ada
saat ini – maka penulis mengusulkan sebuah modifikasi
konsep teologi kontekstualisasi dan aplikasi konkritnya.
Mengapa harus dilakukan
modifikasi dan bagaimana aplikasi konkritnya terhadap teologia
kontekstualisasi? Hal ini harus dilakukan karena budaya sebagai salah satu
komponen dasar dalam membentuk teologi kontekstual memiliki ciri-ciri dan
karakteristik yang beraneka ragam. Secara sederhana kita dapat melihat bahwa tradisi budaya Karo pasti berbeda dengan tradisi budaya Flores, tradisi budaya
Aborigin, tradisi budaya Jepang dan lain-lain. Dengan tradisi budaya yang
beraneka ragam ini, maka penggalian teologi kontekstual tidak dapat dilakukan
dengan menggunakan satu pendekatan atau model di dalam merumuskannya.[14]
Tetapi dibutuhkan suatu modifikasi yang
dapat dipakai di dalam merumuskan teologi kontekstual yang benar-benar
memperlihatkan ke- khas-an dari suatu budaya. Hasil modifikasi konsep teologi kontekstual ini akan
dijabarkan dalam aplikasi konkritnya, sehingga dengan ini
nampak jelas bahwa teologi kontekstualisasi tetap relevan dan dibutuhkan oleh
gereja di dalam menjawab tantangan pelayanannya.
Menindaklanjuti pemikiran
di atas, maka penulis melihat bahwa Gereja Batak Karo Protestan (GBKP)
yang lahir sebagai buah misi dari Badan Misi Nederlandsch
Zending Genootschap (NZG) pada
tanggal 18 April 1890 di Buluh Awar[15]
adalah Gereja yang dibentuk dan dikhususkan bagi orang Karo. Sehingga GBKP
dikenal sebagai gereja yang mewartakan
misi Allah sekaligus juga gereja yang hidup dan melestarikan budaya
Karo. Misi Allah yang berkarya dalam
budaya Karo merupakan sebuah pergumulan sekaligus aset terbesar dalam kehidupan
GBKP hingga saat ini, terutama di dalam melahirkan dan mengembangkan Teologi
Kontekstual Karo. Usaha-usaha yang dilakukan GBKP dalam menggali teologi
kontekstual dapat dikatakan telah berkembang dengan baik.[16]
Namun dalam kehidupan jemaat terjadi praktik-praktik sinkretisme[17] dan lunturnya nilai-nilai budaya Karo.[18]
Sehingga penulis merasa perlu mengkaji ulang kembali konsep-konsep teologi
kontekstual yang telah dihasilkan – melalui pendekatan yang ada selama ini –
dan memperbaharuinya melalui modifikasi dan
aplikasi konsep teologi kontekstual yang penulis usulkan dalam tulisan
ini. Dari pengalaman pelayanan penulis sebagai
pelayan (Pendeta) di GBKP dan sebagai
bagian orang Karo, penulis berharap tulisan ini dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi pengembangan teologi kontekstual secara umum, dan membantu GBKP di dalam me-matang-kan teologi kontekstual bagi
kehidupan berjemaat.
2.
Identifikasi Masalah
Seperti yang telah diuraikan di atas,
maka objek penelitian yang akan dibahas
adalah teologi kontekstual. Teologi dipandang sebagai usaha untuk menempatkan
pewartaan Injil ke dalam apa yang mengelilingi manusia atau konteks yang berada
di depan atau di belakangnya dan membantu menentukan makna pewartaan.[19]
Di mana teologi merupakan media dalam memahami iman, baik dari sudut manusia
yang beriman (segi antropologis) mau pun dari segi sasaran iman itu yaitu Allah
dalam relasinya dengan manusia (aspek teologis). Oleh karena itu yang menjadi
pusat perhatian dari kontekstualisasi adalah usaha manusia untuk berhubungan
dengan Allah yang kudus, dengan masyarakat dan dengan sejarah dan alam semesta.
Dengan
adanya keraguan akan ke-otentik-an dan ke-absah-an
instrumen seperti yang diuraikan diatas, maka hal ini
akan menjadi penghambat di dalam menggali, merumuskan dan mengembangkan teologi
kontekstual. Seperti yang diketahui
bahwa cikal-bakal terbentuknya teologi
kontekstual berawal dari sejarah yang
panjang, yaitu dari tumbuhnya kesadaran akan kemandirian berteologia yang dicetuskan pada
gagasan Three Self (Self Supporting, Self
Propagating, Self Governing) oleh Henry Venn dan Rufus Anderson pada tahun
1859-an.[20] Momen
ini menyadarkan gereja-gereja muda (Gereja Asia) akan kemampuan mereka untuk
menghayati imannya dalam konteks sosial, budaya, dan politik religiusnya masing-masing.[21]
Hingga akhirnya istilah teologi kontesktual muncul pada Sidang TEF tahun 1972.
Namun dengan adanya hambatan-hambatan bagi teologi kontekstual, maka tidaklah
mengherankan bila teologi kontekstual kurang berkembang dan cenderung hanya
menjadi milik gereja suku – sebagai komunitas yang memelihara budaya daerahnya.
Sementara gereja-gereja non suku meyakini memiliki budaya modern yang mereka
anggap berlaku universalitas dan bahkan menganggap budaya tradisional dan
produknya sebagai sesuatu berada dibawah kuasa kegelapan.
Tidak
ada yang buruk dengan teologi kontekstual, justru sebaliknya dengan adanya teologi kontekstual maka budaya daerah dapat
tetap terus dijaga dan dilestarikan. Budaya yang lahir dari keluhuran budi,
daya dan karsa dalam kehidupan manusia,[22]
merupakan lahan yang baik dalam menjalin hubungan akrab dengan Tuhan,
manusia/sesama dan lingkungannya. Untuk inilah maka penulis berpendapat
bahwa teologi kontekstual perlu tetap
dipertahankan dan segala yang menghambat merupakan peluang dan kesempatan untuk semakin menyempurnakan konsep teologi
kontekstual.
Berkaitan
dengan hal ini maka penulis akan me-modifikasi konsep teologi kontekstual – dari konsep-konsep yang ada – dengan mengggunakan
pendekatan lintas bidang ilmu yang
berbasis pada Teologi Biblika. Sehingga dari perpaduan ilmu tersebut akan
menghasilkan suatu teologi kontekstual yang aplikatif bagi kehidupan gereja
masa kini.
Budaya merupakan aset yang bernilai
dan berharga, sehingga budaya tersebut patut untuk dicintai dan dilestarikan. Melalui
budaya juga manusia dapat mengungkapkan identitas diri, integritas dan ekspresi berimannya kepada Allah.
Dan oleh karenanya maka budaya bukanlah sesuatu yang najis, kotor dan
patut dibuang, malah sebaliknya melalui budaya Allah hadir dan menyatakan kehendak-Nya kepada manusia.
3.
Pembatasan Kajian Dan Rumusannya .
Untuk menjawab pokok permasalahan
yang diuraikan dalam latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka
penulis membatasi penggalian kajian ini
pada lingkup budaya Karo. Budaya di mana
penulis hidup, tumbuh dan berkembang di
dalamnya serta melakukan pelayanan di gereja dengan basis budaya tersebut. Dan
untuk mendapatkan modifikasi konsep dan aplikasi konkrit teologi kontekstual yang
dimaksud maka penulis memilih Rumah Adat Karo yang bernama Rumah Siwaluh Jabu sebagai bahan kajian. Di mana Rumah Adat Karo
ini memiliki arti khusus bagi orang Karo, baik dalam kehidupan, ber-relasi dan
menyatakan keberadaan jati dirinya. Jadi,
pembatasan masalah dalam tesis ini adalah kajian dalam lingkup budaya Karo, khususnya
mengenai konsep Rumah Siwaluh Jabu.
[1] Pembahasan lebih lanjut tema
tentang Kerajaan Allah dan Gereja dapat
dilihat pada Eddy Paimoen, Kerajaan Allah
dan Gereja, (Bogor: Yayasan Kasih Abadi, 2004), 5-29.
[2] Stephen B. Bevans- Roger P.
Schroder, Terus Berubah-Tetap Setia:
Dasar, Pola, Konteks Misi, (Maumere: Penerbit Ledalero, 2006), 1,
mengangkat tema ini dengan melihat pada pemahaman gereja yang dipandang secara
eskatologi. Dan ditambahkan pula dengan catatan kaki yang menjelaskan
pandangan-pandangan ahli mengenai hal ini.
[3] Pembahasan lebih mendalam
mengenai misi Allah dapat dilihat pada
Christopher J. H. Wright, The Mission Of
God: Unlocking the Bible’s Grand Narrative, (USA: InterVarsity Press,
2006), 5-47, mengulas berbagai pandangan
dan konsep tentang misi Allah dalam perkembangannya saat ini.
[4] Bevans-Schroder,Terus Berubah, 680.
[5]
Pembahasan mengenai tema-tema baru yang dimaksud dapat dilihat pada Dean Flemming,
Contextualization In The New Testament: Pattern
for theology and mission, (England: The Inter-Varsity Press), 25-88. Dalam bagian ini Flemming
memperlihatkan tiga teks yang jelas memperlihatkan adanya konteks baru yang
memasuki pemikiran Kristen yaitu : Kisah Para Rasul13: 13-52; 14:8-20; 17:
16-34.
[6] Konstanta Injil yang dimaksud
Bevans-Schroeder, Terus Berubah, 49-54, adalah terdiri dari: kristologi,
ekklesiologi, eskatologis, keselamatan, antropologi dan kebudayaan.
[7] Dalam hal ini harus dilihat
bahwa ilmu teologi juga mengalami perkembangan dari masa ke masa. Secara
sederhana perkembangan ilmu teologi seperti diungkapkan Stevan B.Bevans, Teologi Dalam Perspektif Global,(Maumere:
Ledalero,2010), 285-448, mengatakan bahwa teologi mengalami perkembangan dari
masa ke masa, dan terbagi dalam 4 (empat) masa yaitu : a. Teologi Kristen
mula-mula s/d tahun 1000, b. Teologi Kristen dari tahun 1000 s/d tahun 1700, c.
Teologi Kristen abad ke- 18 s/d abad ke-19, d. Teologi Kristen abad ke-20 s/d
sekarang. Lihat juga B.F. Drewes-Julianus Mojau, Apa itu Teologi?Pengantar ke dalam Ilmu Teologi, (Jakarta: BPK GM,
2011), hal. 33-83, mengatakan bahwa teologi terbagi dalam 5 (lima) masa yaitu :
a. Tahun 100- 600: Gereja Kuno, b. Tahun 600-1500: Abad Pertengahan, c. Tahun
1500- 1700: Reformasi Gereja dan Perkembangannya. d. Tahun 1700-1960: Zaman Modern,
e. Tahun 1960– sekarang: Teologia Dunia Ketiga.
[8] Marthinus Theodore Mawene, Perjanjian Lama dan Teologi Kontekstual,
(Jakarta: BPK GM: 2008), 1.
[9] David J.Hesselgrave-Edward
Rommen, Kontekstualisasi: Makna, Metode dan
Model, (Jakarta: BPK GM, 1995), 51.
[10] H. L. Sapulete, “Bertahan Demi Makna” dalam Teologia Operatif, Asnath N
Natar MTh- dkk (Penyunting), (Jakarta: BPK GM: 2003), 55-56.
[11] Hwa Yung, Mangoes or Bananas? The Quest for an
Authentic Asian Christian Theology. (Oxford: Regnum, 1997), 240-242,
menunjuk teolog Asia yang telah mendapat
pendidikan Barat, di mana bagi Yung ada keraguan bahwa teologi kontekstual yang
dihasilkan adalah murni dari konteksnya.
[12] Bevans, Models
of Contextual, 11-22, ada banyak persoalan besar yang terjadi dalam gereja
yang berhubungan dengan kontekstualisasi, baik dari kalangan Katolik maupun
Protestan. Hendri de Lubac, Corpus
Mysticum: l’eucharistie et l’Eglise au Moyen Age, (Paris:Aubier,1949),
teolog Katolik yang menyatakan bahwa Ekaristi adalah corpus mysticum (Tubuh Mistik
Kristus), tetapi gereja mengatakan Ekaristi adalah corpus verum (Tubuh Kristus yang riil) dan akhirnya disepakati
bahwa Ekaristi adalah Tubuh Kristus yang riil dan gereja sebagai Tubuh Mistik
Kristus. Thomas F. O’Meara, Theology of
Ministry, (Mahwah, NJ: Pulist Press, 1999), 111-129, menyebutkan bahwa
Kontra Reformasi Katolik ditempa dalam konteks perlawanan terhadap
tantangan kaum Protestan. Teologi
Protestan abad 16 dan 17 adalah teologi kontekstual menurut kepentingannya.
Paul Tillich, Systematic Theology,
(Chicago: University of Chicago Press; New York: Harper and Row, 1967), Volume
I, 60, menyebutkan bahwa teologi perlu
dilaksanakan sebagai suatu korelasi
antara “pertanyaan-pertanyaan eksistensial manusia dan jawaban-jawaban
teologis dalam ketergantungan timbal-balik.” Gambaran-gambaran ini menunjukkan
bahwa teologi kontekstual sebuah teologi tidak pernah terlepas dari rupa-rupa peristiwa, bentuk pemikiran, atau
kebudayaan pada satu tempat dan waktu
tertentu. Teologi yang dapat menjadi kawan atau lawan.
[13] B.J. Banawiratma, “Theologi
Fungsional-Theologi Kontekstual.” dalam Konteks
Bertheologi di Indonesia, Eka Dharmaputra (Editor), (Jakarta: BPK GM), 52.
[14] Bandingkan Bevans, Model of Contextual,30-32,
memperlihatkan ada 6 (enam) model dalam melakukan penggalian terhadap teologi
kontekstual. Di mana ke-6 model tersebut dianggap telah mewakili seluruh budaya
di dunia ini dalam menghasilkan teologi kontekstual. Bandingkan dengan Hwa Yung, Mangoes
or Bananas, 123-220, yang merasa
kecewa terhadap usaha-usaha penggalian teologi kontekstual yang telah
dilakukan baik oleh Katolik dan Protestan.
[15] P.
Sinuraya,
Bunga Rampai Sejarah Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Jilid I
1890-1941, (Medan: Toko Buku Kristen Merga Silima, 2004), 48-49.
[16] Hal ini dapat dilihat melalui
Tata Gereja GBKP yang mencantumkan Pengakuan Dasar (Konfesi) GBKP (TATA GEREJA
GBKP, (Kabanjahe: Moderamen, 2010), 129-131.
[17] Praktik-praktik sinkretisme yang
sering dilakukan adalah perdukunan, menyembah nenek moyang, dan memakai
jimat-jimat, yang kerap dianggap sebagai solusi oleh jemaat di dalam menghadapi
pergumulan kehidupannya dan bagi jemaat yang melakukannya akan dikenakan siasat
gereja (Tata Gereja, 75-75).
[18] Lunturnya nilai budaya dapat
dilihat dari semakin kurangnya semangat gotong royong, musyawarah untuk mufakat
(runggu), rela berkorban dan setia
kawan yang digantikan dengan sikap
egoisme, materialistis, dan lain-lain. Yang mengakibatkan kurangnya rasa
persatuan, jemaat yang terpecah-pecah, tingkat ke-aktif-an jemaat yang hanya mencapai 40 %. (Laporan Umum
Moderamen ke Sidang Sinode 2010, Bagian Umum).
[19] Yosef Keladu Koten, “Kontekstualisasi:
Paradigma Baru Berteologi,” dalam
Teologia Lokal Berteologi Dari Konteks,
Seri Buku VOX Seri 34/4, (Flores: Ledalero, 1994), 16.
[20] Christian
de Jonge- Jan S. Aritonang, Apa dan
Bagaimana Gereja, (Jakarta :BPK GM, 1989), 78.
[21] Pandangan yang sejajar juga
dapat dilihat dalam tulisan Hwa Yung, Mangoes
or Bananas, 1-9, yang memperlihatkan kegagalan Teologi Barat dalam menjawab persoalan-persoalan teologis
di Asia.
[22]
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok
Antropology Sosial, (Djakarta: Dian Rakyat, 1965), 6- 9.