Halaman

EMPOWERMENT OF LIFE

Jumat, 11 Oktober 2013

RUMAH SIWALUH JABU : TEOLOGI KONTEKSTUAL KARO (1)



RUMAH SIWALUH JABU  :
TEOLOGI KONTEKSTUAL KARO

Oleh : Pdt Darius Rinaldi Sembiring MTh
GBKP Rg. Jadi Meriah Km 9, Klasis Medan Delitua

1. PENGANTAR
Salah satu hal terpenting yang harus diketahui oleh orang-orang Kristen tentang gereja ialah bahwa gereja adalah bagian Pemerintahan Allah (Kerajaan Allah). Pemerintahan di mana Allah yang memerintah dan berkuasa atas segala yang ada, termasuk gereja.[1] Tugas gereja adalah berkomitmen untuk mewartakan, melayani dan bersaksi tentang pemerintahan itu.[2] Dengan  demikian maka gereja tersebut telah  menerima dan melestarikan jati dirinya.
Gereja sebagai  wujud kehadiran sakramental Pemerintahan Allah di dunia ini secara kuat terikat pada manusia, sejarah dan kosmos. Kehadirannya, bila secara otentik mengambil bagian dalam Misi Allah (Missio Dei),[3] selalu mengkomunikasikan Injil dari bingkai satu kebudayaan tertentu dan bahasa tertentu kepada bingkai budaya dan bahasa yang lain pula.[4] Kehadiran sakramental menunjuk kepada tanda-tanda yang terlihat dan berdampak dari misi Allah bagi manusia beserta ciptaan-Nya yang adalah milik-Nya. Kitab Kisah Para Rasul dengan jelas memperlihatkan hal ini, di mana gereja tidak saja tetap terikat dengan berbagai  pemikiran dan simbol Yahudi. Tetapi telah merangkul berbagai pemikiran religius dari luar Yahudi misalnya pemikiran  Greko-Romawi.[5] Kesetiaan pada misi Allah telah membuat para Pekabar Injil (Rasul) untuk memasuki konteks-konteks yang baru dengan tetap setia kepada Tuhan.
Kesetiaan – pusat pewartaan, pelayanan dan kesaksian – terhadap  pemerintahan Allah dalam diri Yesus Kristus telah  membentuk ‘jati diri baru’ gereja yang hidup dalam masa
penantian eskatologis sampai kedatangan  Tuhan yang kedua kalinya. ‘Jati diri baru’ gereja ini  terbentuk dan  berasal dari  penghayatan iman yang relevan bagi satu budaya, satu bahasa dengan keunggulan dan keterbatasannya.  Dalam kurun waktu yang panjang, ini telah menempatkan upaya Injil mengakar di berbagai belahan dunia. Misi gereja dilaksanakan dalam lingkup  konkrit  pada satu konteks  tertentu, namun juga   dalam kesetiaan kepada konstanta Injil [6] serta tradisi  teologi, praktik liturgi  dan kehidupan kristiani telah menghasilkan ‘jati diri baru’  yang kaya dan beragam.[7]    
“Injil yang membumi” sebagai gambaran dari ‘jati diri baru’ gereja merupakan hal yang penting dalam mengenal dan memahami Allah bagi gereja dan orang Kristen. Sering sekali istilah “Injil yang membumi” dihubungkan dengan  kontekstualisasi. Seperti diketahui bahwa  memasuki abad ke XX, terutama sesudah Perang Dunia II, kesadaran  tentang pentingnya peran konteks dalam berteologi menjadi perhatian khusus gereja-gereja secara umum dan  lembaga-lembaga pendidikan secara khusus.[8] Dan sebagai puncak dari perhatian ini adalah dengan lahirnya istilah  Teologi Kontekstual pada pertemuan Theological Education Fund (TEF) tahun 1972, yang disampaikan oleh Shoki Coe.[9] Lahirnya istilah ini memunculkan pandangan baru di dalam berteologi, khususnya bagi gereja-gereja di Asia. Gereja-gereja Asia semakin menyadari  bahwa perhatian terhadap konteks  di mana gereja-gereja  itu hidup merupakan kebutuhan yang mendesak. Dari waktu ke waktu gereja-gereja semakin menyadari bahwa gereja membutuhkan pengenalan yang lebih mendalam  akan jati diri barunya sebagai gereja yang hidup di tempat tertentu sekaligus sebagai bagian dari gereja universal. Sehingga muncullah usaha-usaha kontekstualisasi yang menggali teologi konteks Asia, beberapa diantaranya adalah Teologi Minjung (Korea), Teologi Kerbau (Kosuke Koyama), Teologi Dalith (India).[10]
Munculnya teologi kontekstual pada satu sisi semakin memantapkan gereja dalam mewartakan misi Allah dalam suatu wilayah dengan konteksnya. Namun pada sisi lain muncul pendapat-pendapat yang menentang usaha penggalian teologi kontekstual, khususnya dalam hal ke-otentik-an dan ke-absah-an instrument teologi. Hwa Yung dalam bukunya Mangoes or Bananas (sebuah pertanyaan terhadap keotentikan Teologi Kristen Asia) menyimpulkan bahwa Teologia Kristen Asia seperti buah  mangga dan pisang. Di mana mangga adalah gambaran buah asli Asia, berkulit kuning dan isi dalamnya juga kuning. Berbeda dengan pisang yang berkulit kuning  tapi isinya putih. Mangga adalah simbol keotentikan dan pisang tidak otentik. Justru Teologi Kristen Asia yang ada saat ini adalah seperti pisang, dan bukan mangga.[11] Demikian juga halnya dengan ke-absah-an instrumen teologi, di mana Stephen B. Bevans mencatat ada 4 (empat) masalah yaitu : metode teologi, kiblat teologi, kriteria ortodoksi  dan jati diri budaya dihadapan teologi.[12] Jika memang orang dan instrumen yang melakukan teologi kontekstual tidak otentik dan absah, tentu teologi yang dihasilkan adalah tidak benar. Ini artinya teologi kontekstual sudah dapat kita kubur saja, karena tidak ada gunanya.
Beranjak dari pertentangan dan persoalan besar ini, penulis melihat bahwa ada hal yang kurang dalam melakukan proses teologi kontektualisasi dan ada hal perlu dibenahi dalam mengaplikasikan teologi kontekstualisasi tersebut. Bagi penulis, kontekstualisasi tetap merupakan sebuah kebutuhan penting bagi Gereja. Penulis sependapat dengan pandangan Banawiratma yang mengatakan mengapa gereja membutuhkan kontekstualisasi, karena: [13]   
1.       Penghayatan iman  Kristiani  yang berdasarkan  pada injil  Yesus Kristus, selalu terjadi pada  situasi, lingkungan, konteks  atau tata budaya  tertentu  yang konkret. Refleksi atas penghayatan  firman Allah  akan berarti jika refleksi itu memperjuangkan  keadaan ini (bandingkan Lukas 9:20).
2.       Konteks  konkrit dan tata budaya konkrit  tersebut bukanlah hanya objek  yang disapa Injil, melainkan subjek yang aktif. Nilai-nilai yang terkandung didalamnya dibutuhkan untuk memperkaya  penghayatan Injil Yesus Kristus.
3.       Menjadi beriman berarti dipanggil untuk menjadi ciptaan baru. Dalam  hidup nyata gereja dipanggil untuk hidup sebagai ciptaan baru. Ciptaan baru bukanlah barang jadi, produk upacara pembaptisan melainkan suatu pergulatan  terus menerus untuk  berada  dimana Kristus ada.

Jadi, dengan pendapat ini jelas terlihat bahwa gereja membutuhkan kontekstualisasi. Ini artinya teologi kontekstualisasi perlu dan sangat dibutuhkan gereja untuk menjawab kebutuhan pelayanannya. Pertanyaan yang  timbul selanjutnya adalah bagaimana cara menghasilkan sebuah teologi kontekstual yang baik dan benar? Sehubungan dengan ini – melalui konsep-konsep teologi kontekstualisasi yang ada saat ini – maka penulis mengusulkan sebuah modifikasi konsep teologi kontekstualisasi dan aplikasi konkritnya.      
Mengapa harus dilakukan modifikasi dan bagaimana aplikasi konkritnya terhadap teologia kontekstualisasi? Hal ini harus dilakukan karena budaya sebagai salah satu komponen dasar dalam membentuk teologi kontekstual memiliki ciri-ciri dan karakteristik yang beraneka ragam. Secara sederhana kita dapat melihat bahwa tradisi  budaya Karo pasti berbeda dengan  tradisi budaya Flores, tradisi budaya Aborigin, tradisi budaya Jepang dan lain-lain. Dengan tradisi budaya yang beraneka ragam ini, maka penggalian teologi kontekstual tidak dapat dilakukan dengan menggunakan satu pendekatan atau model di dalam merumuskannya.[14] Tetapi dibutuhkan  suatu modifikasi yang dapat dipakai di dalam merumuskan teologi kontekstual yang benar-benar memperlihatkan ke- khas-an dari suatu budaya. Hasil  modifikasi konsep teologi kontekstual ini akan dijabarkan  dalam  aplikasi konkritnya, sehingga dengan ini nampak jelas bahwa teologi kontekstualisasi tetap relevan dan dibutuhkan oleh gereja di dalam menjawab tantangan pelayanannya.
Menindaklanjuti  pemikiran  di atas, maka penulis melihat bahwa Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) yang lahir sebagai buah misi dari Badan Misi Nederlandsch Zending Genootschap (NZG)  pada tanggal 18 April 1890 di Buluh Awar[15] adalah Gereja yang dibentuk dan dikhususkan bagi orang Karo. Sehingga GBKP dikenal sebagai gereja yang mewartakan  misi Allah sekaligus juga gereja yang hidup dan melestarikan budaya Karo.  Misi Allah yang berkarya dalam budaya Karo merupakan sebuah pergumulan sekaligus aset terbesar dalam kehidupan GBKP hingga saat ini, terutama di dalam melahirkan dan mengembangkan Teologi Kontekstual Karo. Usaha-usaha yang dilakukan GBKP dalam menggali teologi kontekstual dapat dikatakan telah berkembang dengan baik.[16] Namun dalam  kehidupan jemaat  terjadi praktik-praktik sinkretisme[17]  dan lunturnya nilai-nilai budaya Karo.[18] Sehingga penulis merasa perlu mengkaji ulang kembali konsep-konsep teologi kontekstual yang telah dihasilkan – melalui pendekatan yang ada selama ini – dan memperbaharuinya melalui modifikasi dan  aplikasi konsep teologi kontekstual yang penulis usulkan dalam tulisan ini. Dari pengalaman pelayanan penulis sebagai  pelayan (Pendeta) di GBKP dan  sebagai bagian orang Karo, penulis berharap tulisan ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan teologi kontekstual secara umum, dan  membantu GBKP di dalam me-matang-kan teologi kontekstual bagi kehidupan berjemaat.

2. Identifikasi Masalah
            Seperti yang telah diuraikan di atas,  maka objek penelitian yang akan dibahas adalah teologi kontekstual. Teologi dipandang sebagai usaha untuk menempatkan pewartaan Injil ke dalam apa yang mengelilingi manusia atau konteks yang berada di depan atau di belakangnya dan membantu menentukan makna pewartaan.[19] Di mana teologi merupakan media dalam memahami iman, baik dari sudut manusia yang beriman (segi antropologis) mau pun dari segi sasaran iman itu yaitu Allah dalam relasinya dengan manusia (aspek teologis). Oleh karena itu yang menjadi pusat perhatian dari kontekstualisasi adalah usaha manusia untuk berhubungan dengan Allah yang kudus, dengan masyarakat dan dengan sejarah dan alam semesta.  
            Dengan adanya keraguan akan ke-otentik-an  dan ke-absah-an instrumen  seperti yang diuraikan diatas, maka hal ini akan menjadi penghambat di dalam menggali, merumuskan dan mengembangkan teologi kontekstual. Seperti yang  diketahui bahwa cikal-bakal terbentuknya  teologi kontekstual  berawal dari sejarah yang panjang, yaitu  dari tumbuhnya  kesadaran akan  kemandirian berteologia yang dicetuskan pada gagasan Three Self (Self Supporting, Self Propagating, Self Governing) oleh Henry Venn dan Rufus Anderson pada tahun 1859-an.[20] Momen ini menyadarkan gereja-gereja muda (Gereja Asia) akan kemampuan mereka untuk menghayati  imannya dalam konteks  sosial, budaya,  dan politik religiusnya masing-masing.[21] Hingga akhirnya istilah teologi kontesktual muncul pada Sidang TEF tahun 1972. Namun dengan adanya hambatan-hambatan bagi teologi kontekstual, maka tidaklah mengherankan bila teologi kontekstual kurang berkembang dan cenderung hanya menjadi milik gereja suku – sebagai komunitas yang memelihara budaya daerahnya. Sementara gereja-gereja non suku meyakini memiliki budaya modern yang mereka anggap berlaku universalitas dan bahkan menganggap budaya tradisional dan produknya sebagai sesuatu berada dibawah kuasa kegelapan.
            Tidak ada yang buruk dengan teologi kontekstual, justru sebaliknya dengan adanya  teologi kontekstual maka budaya daerah dapat tetap terus dijaga dan dilestarikan. Budaya yang lahir dari keluhuran budi, daya dan karsa dalam kehidupan manusia,[22] merupakan lahan yang baik dalam menjalin hubungan akrab dengan Tuhan, manusia/sesama dan lingkungannya. Untuk inilah maka penulis berpendapat bahwa  teologi kontekstual perlu tetap dipertahankan dan segala yang menghambat merupakan peluang dan kesempatan  untuk semakin menyempurnakan konsep teologi kontekstual.  
            Berkaitan dengan hal ini maka penulis akan me-modifikasi konsep  teologi kontekstual – dari  konsep-konsep yang ada – dengan mengggunakan pendekatan lintas bidang ilmu  yang berbasis pada Teologi Biblika. Sehingga dari perpaduan ilmu tersebut akan menghasilkan suatu teologi kontekstual yang aplikatif bagi kehidupan gereja masa kini.
Budaya merupakan aset yang bernilai dan berharga, sehingga budaya tersebut patut untuk dicintai dan dilestarikan. Melalui budaya juga manusia dapat mengungkapkan identitas diri, integritas dan  ekspresi berimannya  kepada Allah.  Dan oleh karenanya maka budaya bukanlah sesuatu yang najis, kotor dan patut dibuang, malah sebaliknya melalui budaya Allah hadir dan  menyatakan kehendak-Nya kepada manusia.

3. Pembatasan Kajian  Dan Rumusannya .
            Untuk menjawab pokok permasalahan yang diuraikan dalam latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka penulis membatasi  penggalian kajian ini pada lingkup budaya Karo. Budaya  di mana penulis hidup, tumbuh dan berkembang  di dalamnya serta melakukan pelayanan di gereja dengan basis budaya tersebut. Dan untuk mendapatkan modifikasi konsep dan aplikasi konkrit teologi kontekstual yang dimaksud maka penulis memilih Rumah Adat Karo yang bernama Rumah Siwaluh Jabu sebagai bahan kajian. Di mana Rumah Adat Karo ini memiliki arti khusus bagi orang Karo, baik dalam kehidupan, ber-relasi dan menyatakan keberadaan jati dirinya.  Jadi, pembatasan  masalah  dalam tesis ini adalah  kajian dalam lingkup budaya Karo, khususnya mengenai konsep Rumah Siwaluh Jabu.
           



[1] Pembahasan lebih lanjut tema tentang Kerajaan Allah dan Gereja  dapat dilihat pada Eddy Paimoen, Kerajaan Allah dan Gereja, (Bogor: Yayasan Kasih Abadi, 2004), 5-29.
[2] Stephen B. Bevans- Roger P. Schroder, Terus Berubah-Tetap Setia: Dasar, Pola, Konteks Misi, (Maumere: Penerbit Ledalero, 2006), 1, mengangkat tema ini dengan melihat pada pemahaman gereja yang dipandang secara eskatologi. Dan ditambahkan pula dengan catatan kaki yang menjelaskan pandangan-pandangan ahli mengenai hal ini.
[3] Pembahasan lebih mendalam mengenai misi Allah dapat dilihat  pada Christopher J. H. Wright, The Mission Of God: Unlocking the Bible’s Grand Narrative, (USA: InterVarsity Press, 2006), 5-47, mengulas berbagai pandangan  dan konsep tentang misi Allah dalam perkembangannya saat ini.
[4] Bevans-Schroder,Terus Berubah,  680.
[5] Pembahasan mengenai tema-tema baru yang dimaksud dapat dilihat pada Dean Flemming, Contextualization In The New Testament: Pattern for theology and mission, (England: The Inter-Varsity Press),  25-88. Dalam bagian ini Flemming memperlihatkan tiga teks yang jelas memperlihatkan adanya konteks baru yang memasuki pemikiran Kristen yaitu : Kisah Para Rasul13: 13-52; 14:8-20; 17: 16-34.
[6] Konstanta Injil yang dimaksud Bevans-Schroeder, Terus Berubah,  49-54, adalah terdiri dari: kristologi, ekklesiologi, eskatologis, keselamatan, antropologi dan kebudayaan. 
[7] Dalam hal ini harus dilihat bahwa ilmu teologi juga mengalami perkembangan dari masa ke masa. Secara sederhana perkembangan ilmu teologi seperti diungkapkan Stevan B.Bevans, Teologi Dalam Perspektif Global,(Maumere: Ledalero,2010), 285-448,  mengatakan  bahwa teologi mengalami perkembangan dari masa ke masa, dan terbagi dalam 4 (empat) masa yaitu : a. Teologi Kristen mula-mula s/d tahun 1000, b. Teologi Kristen dari tahun 1000 s/d tahun 1700, c. Teologi Kristen abad ke- 18 s/d abad ke-19, d. Teologi Kristen abad ke-20 s/d sekarang. Lihat juga B.F. Drewes-Julianus Mojau, Apa itu Teologi?Pengantar ke dalam Ilmu Teologi, (Jakarta: BPK GM, 2011), hal. 33-83, mengatakan bahwa teologi terbagi dalam 5 (lima) masa yaitu : a. Tahun 100- 600: Gereja Kuno, b. Tahun 600-1500: Abad Pertengahan, c. Tahun 1500- 1700: Reformasi Gereja dan Perkembangannya. d. Tahun 1700-1960: Zaman Modern, e. Tahun 1960– sekarang: Teologia Dunia Ketiga.
[8] Marthinus Theodore Mawene, Perjanjian Lama dan Teologi Kontekstual, (Jakarta: BPK GM: 2008), 1.
[9] David J.Hesselgrave-Edward Rommen, Kontekstualisasi: Makna, Metode dan Model, (Jakarta: BPK GM, 1995), 51.
[10] H. L. Sapulete, “Bertahan  Demi Makna” dalam Teologia Operatif,  Asnath N Natar MTh- dkk (Penyunting), (Jakarta: BPK GM: 2003), 55-56.
[11] Hwa Yung, Mangoes or Bananas? The Quest for an  Authentic Asian Christian Theology. (Oxford: Regnum, 1997), 240-242, menunjuk teolog Asia yang  telah mendapat pendidikan Barat, di mana bagi Yung ada keraguan bahwa teologi kontekstual yang dihasilkan adalah murni dari konteksnya.     
[12] Bevans,  Models of Contextual, 11-22, ada banyak persoalan besar yang terjadi dalam gereja yang berhubungan dengan kontekstualisasi, baik dari kalangan Katolik maupun Protestan. Hendri de Lubac, Corpus Mysticum: l’eucharistie et l’Eglise au Moyen Age, (Paris:Aubier,1949), teolog Katolik yang menyatakan bahwa Ekaristi adalah corpus mysticum (Tubuh Mistik  Kristus), tetapi gereja mengatakan Ekaristi adalah corpus verum (Tubuh Kristus yang riil) dan akhirnya disepakati bahwa Ekaristi adalah Tubuh Kristus yang riil dan gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus. Thomas F. O’Meara, Theology of Ministry, (Mahwah, NJ: Pulist Press, 1999), 111-129, menyebutkan bahwa Kontra Reformasi Katolik ditempa dalam konteks perlawanan terhadap tantangan  kaum Protestan. Teologi Protestan abad 16 dan 17 adalah teologi kontekstual menurut kepentingannya. Paul Tillich, Systematic Theology, (Chicago: University of Chicago Press; New York: Harper and Row, 1967), Volume I, 60, menyebutkan bahwa teologi perlu  dilaksanakan sebagai suatu korelasi  antara “pertanyaan-pertanyaan eksistensial manusia dan jawaban-jawaban teologis dalam ketergantungan timbal-balik.” Gambaran-gambaran ini menunjukkan bahwa teologi kontekstual sebuah teologi tidak pernah terlepas dari  rupa-rupa peristiwa, bentuk pemikiran, atau kebudayaan  pada satu tempat dan waktu tertentu. Teologi yang dapat menjadi kawan atau lawan.      
[13] B.J. Banawiratma, “Theologi Fungsional-Theologi Kontekstual.” dalam  Konteks Bertheologi di Indonesia,  Eka Dharmaputra (Editor), (Jakarta: BPK GM), 52.
[14] Bandingkan Bevans, Model of Contextual,30-32, memperlihatkan ada 6 (enam) model dalam melakukan penggalian terhadap teologi kontekstual. Di mana ke-6 model tersebut dianggap telah mewakili seluruh budaya di dunia ini dalam menghasilkan teologi kontekstual. Bandingkan dengan  Hwa Yung, Mangoes or Bananas,  123-220, yang merasa kecewa terhadap  usaha-usaha  penggalian teologi kontekstual yang telah dilakukan baik oleh Katolik dan Protestan.
[15] P. Sinuraya,  Bunga Rampai Sejarah Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Jilid I 1890-1941, (Medan: Toko Buku Kristen Merga Silima, 2004), 48-49.
[16] Hal ini dapat dilihat melalui Tata Gereja GBKP yang mencantumkan Pengakuan Dasar (Konfesi) GBKP (TATA GEREJA GBKP, (Kabanjahe: Moderamen, 2010), 129-131.   
[17] Praktik-praktik sinkretisme yang sering dilakukan adalah perdukunan, menyembah nenek moyang, dan memakai jimat-jimat, yang kerap dianggap sebagai solusi oleh jemaat di dalam menghadapi pergumulan kehidupannya dan bagi jemaat yang melakukannya akan dikenakan siasat gereja (Tata Gereja, 75-75).
[18] Lunturnya nilai budaya dapat dilihat dari semakin kurangnya semangat gotong royong, musyawarah untuk mufakat (runggu), rela berkorban dan setia kawan yang digantikan dengan  sikap egoisme, materialistis, dan lain-lain. Yang mengakibatkan kurangnya rasa persatuan, jemaat yang terpecah-pecah, tingkat ke-aktif-an jemaat  yang hanya mencapai 40 %. (Laporan Umum Moderamen ke Sidang Sinode 2010, Bagian Umum).
[19] Yosef Keladu Koten, “Kontekstualisasi: Paradigma Baru Berteologi,” dalam Teologia Lokal  Berteologi Dari Konteks, Seri Buku VOX Seri 34/4, (Flores: Ledalero, 1994), 16.
[20] Christian de Jonge- Jan S. Aritonang, Apa dan Bagaimana Gereja, (Jakarta :BPK GM, 1989), 78.
[21] Pandangan yang sejajar juga dapat dilihat dalam tulisan Hwa Yung, Mangoes or Bananas, 1-9, yang memperlihatkan kegagalan Teologi Barat  dalam menjawab persoalan-persoalan teologis di Asia.

[22] Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropology Sosial, (Djakarta: Dian Rakyat, 1965), 6- 9.