Halaman

EMPOWERMENT OF LIFE

Jumat, 26 April 2013

Solidaritas Jemaat Perjanjian Baru (part 2)



Solidaritas Jemaat Perjanjian Baru (part 2)

Solidaritas sebagai dasar etika Paulus

Membatasi diri pada pembahasan akar kata koinõn- dalam surat-surat Paulus meninggalkan kesan seolah-olah solidaritas hanya merupakan salah satu temanya saja di samping banyak yang lain. Kesan itu ditantang oleh David Horrell dalam bukunya Solidaritas and Difference.[1] Dalam studi tentang etika Paulus dalam dialog dengan pelbagai arus etika modern (komunitarian dan liberal) Horrell mengangkat corporate solidarity, solidaritas banyak orang menjadi satu tubuh, sebagai metanorm, norma dasar, untuk seluruh etika Paulus, bersamaan dengan norma dasar other-regard, suatu kata bentukan baru yang mencakup nilai-nilai kunci dalam etika Paulus, seperti kasih, merendahkan diri, melepaskan status, dst.
Menurut Horrell, solidaritas tampak sebagai norma dasar dalam membentuk komunitas kristiani, apabila diberi perhatian kepada sejumlah unsur sentral dalam hidup jemaat Kristen awal dan dalam surat-surat Paulus, seperti kedua ritual dasar, baptisan dan perjamuan Tuhan; sebutan frekuen saudara-saudara (adelphoi); seruan-seruan Paulus untuk memulihkan kesatuan bila berhadapan dengan perpecahan; dan gagasan jemaat sebagai tubuh. Penjelasan kita mulai dari yang terakhir.

Tubuh dan anggota-anggotanya

Gagasan bahwa orang-orang Kristen membentuk suatu tubuh membantu untuk memahami solidaritas macam apa yang didorong oleh Paulus. Gambaran tubuh amat cocok untuk menggarisbawahi kesatuan banyak anggota dalam satu tubuh, tetapi sekaligus menggarisbawahi perlunya perbedaan dan keanekaragaman (Horrell 121). Kedua teks yang penting adalah 1Kor 12:12-31 dan Rom 12:4-8; teks terakhir tampak sebagai ringkasan dari teks pertama. Ide sentral dalam keduanya ialah ‘banyak dan satu’, ‘bagian dan keseluruhan’. Gambaran tubuh bermaksud menekankan kedua sisi; satu tubuh dan banyak anggota, masing-masing dengan sifat, karunia, dan fungsi yang berbeda namun serentak bagian dari satu keseluruhan (1Kor 12:12-14; Rm 12:4-5). Maka gambaran ini tegas menyangkal tuduhan yang ada kalanya dilontarkan terhadap Paulus bahwa perjuangannya untuk kesatuan jugalah untuk kesamaan dan dengan demikian menindas yang berlainan.
Dalam dunia kuno, gambaran tubuh sering dipakai dalam pemikiran sosial-politik, a.l. untuk mempertahankan status quo suatu hirarki.[2] Tetapi Paulus dalam menghadapi orang-orang Korintus yang menganggap dirinya lebih spiritual daripada yang lain, memakai gambaran tubuh tidak untuk memperkuat 'hierarki' itu tetapi justru untuk mempertanyakannya. Setelah menegaskan poin kesatuan dan keanekaragaman (1Kor 12:12-14), Paulus mengilustrasikannya terlebih dahulu dengan mengacu kepada pasangan anggota tubuh yang sebanding: kaki dan tangan, telinga dan mata (ay. 15-20). Namun dalam ay. 21-26 perhatiannya bergeser dengan memilih pasangan anggota tubuh yang menunjukkan hubungan lebih hirarkis: mata terhadap tangan, kepala terhadap kaki. Di situ Paulus justru tidak mendukung hirarki alamiah itu. Anggota tubuh yang tampaknya – itu hanya menurut pandangan orang– paling lemah dan kurang terhormat, justru yang paling dibutuhkan dan diberi penghormatan yang lebih (ay 22-24a). Penyusunan tubuh secara demikian yang membalikkan tata penghormatan dengan memberinya secara khusus justru kepada yang tampaknya tidak mulia, bahkan dikatakan Paulus adalah pekerjaan Allah sendiri (ay 24b). Yang lebih rendah ditinggikan-Nya. Pembalikan itu dikerjakan oleh Allah supaya jangan terjadi perpecahan dalam tubuh tetapi anggota-anggota yang berbeda saling memperhatikan (ay. 25). Saling empati dalam penderitaan dan sukacita membangun solidaritas di antara mereka. Maka sambil menggarisbawahi perbedaan dan keragaman, Paulus memperjuangkan solidaritas dan saling hormat yang bersifat egalitarian.
Menghadapi orang-orang Korintus yang memandang dirinya lebih spiritual (karunia bahasa lidah), Paulus menggunakan gambaran tubuh bukan saja untuk memupuk suatu bentuk solidaritas dari semua dalam satu tubuh, tetapi lebih khusus suatu solidaritas yang dikembangkan dengan membalikkan posisi tinggi dan rendah, bijak dan bodoh, terhormat dan kurang terhormat, lalu menumbuhkan suatu sikap hormat satu sama lain yang lebih berjiwa kesederajatan. Dalam pembalikan itu, 1Kor 12 dekat dengan cara Paulus memupuk kesatuan  berhadapan dengan perpecahan dalam 1Kor 1-4 seperti yang akan kita lihat sekarang.

Memupuk kesatuan di tengah perpecahan

Perpecahan jemaat Korintus yang dihadapi Paulus dalam 1Kor 1-4 tampak tidak disebabkan oleh perbedaan ajaran, tetapi lebih bersifat saingan dan rasa iri hati (1Kor 3:3) karena ada yang mengklaim hikmat, kuasa, dan status yang mencerminkan nilai-nilai dunia Yunani dan juga Yahudi (Horrell 116). Cara Paulus berusaha mengembalikan jemaat yang terpecah itu kepada kesatuan, bukanlah dengan seoptimal mungkin menggunakan segala kekuatan dan hikmat yang ada pada mereka atau mereka klaim untuk dirinya. Sebaliknya, Paulus justru menjungkirbalikkan tata nilai dunia mereka itu. Untuk itu Paulus mulai dengan pemberitaan tentang salib (1:18-25), “berita yang menunjukkan penolakan tegas Allah terhadap hikmat dan status duniawi, suatu penolakan yang juga tercermin dalam cara Allah memanggil suatu jemaat yang terdiri atas orang-orang yang tidak berarti (1:26-28) dan tercermin pula dalam cara Paulus telah menyampaikan injil tanpa kata-kata indah dan dengan sangat takut dan gentar” (2:1-5; Horrell 117). Paulus memandang dan membina jemaat sebagai suatu persekutuan di mana tak ada tempat bagi siapa pun untuk memegahkan diri atas yang lain.
Bahkan para rasul dan pemimpin digambarkan sebagai pelayan, pekerja, kawan sekerja Allah dalam tugas mendirikan bangunan Allah, ialah jemaat Korintus (3:5-23). Pelbagai kiasan dalam bab 3 melukiskan jemaat sebagai badan milik Allah: ladang Allah, bangunan Allah, Bait Allah (ay. 9, 16). Dalam kiasan seperti itu jemaat bukanlah milik salah seorang rasul, entah Paulus atau Apolos, dst. (1:12); sebaliknya, dalam jemaat baru Allah, sebagai Bait Allah dan kediaman Roh Kudus, para rasul justru milik jemaat, tetapi jemaat adalah milik Kristus, dan Kristus adalah milik Allah.
Untuk memulihkan jemaat dari perpecahan yang disebabkan oleh klaim-klaim hikmat yang saling bersaing, Paulus menyangkal dasar klaim-klaim itu dengan berita salib yang meniadakan klaim-klaim hikmat dan kekuatan duniawi. Tetapi kepada orang-orang yang sombong itu Paulus pun berani memberi ajakan: “turutilah teladanku” (ay. 16,18). Teladan Paulus di sini bukanlah sesuatu yang ia banggakan, sebab dalam konteks sebelumnya digambarkan tak lain daripada hidupnya sebagai rasul yang oleh Allah diberi tempat yang paling rendah, hina, difitnah, sebagai sampah dunia. Melalui pembalikan nilai dunia tang tampak dalam salib Kristus dan pelayanan Paulus, ia berusaha membawa mereka yang terpecah-pecah itu kembali kepada kesatuan jemaat Allah dan solidaritas satu sama lain.

Suatu persekutuan saudara-saudara: identitas dan etos

Dalam seruan untuk kesatuan dalam 1Kor 1-4, Paulus mengintensifkan perjuangannya dengan menyapa jemaat Korintus enam kali sebagai adelphoi, “saudara-saudara”. Julukan itu puluhan kali digunakan dalam surat 1Korintus yang sesungguhnya seluruhnya bergumul untuk memulihkan kesatuan umat di Korintus; dan digunakan lebih dari seratus kali dalam ketujuh surat yang tak pernah diragukan sebagai surat asli Paulus (lebih jarang dalam surat-surat Deutero-Paulinis; Horrell 111). Dibandingkan dengan etiket lain (“orang-orang kudus” 25x; “orang-orang percaya” 15x), adelphoi jelaslah sebutan yang favorit Paulus untuk menunjukkan identitas jemaatnya dan membedakannya dari dunia luar.
Melalui sebutan “saudara” yang juga sudah dipakai dalam Perjanjian Lama untuk sesama orang Israel dan juga dalam kelompok-kelompok kuno lain, diungkapkan adanya dan perlunya suatu hubungan khusus, yang seperti antar kerabat. Bagi Paulus adelphoi bukan sebutan rutin saja tetapi mengandung peran dan tingkah laku tertentu yang diharapkan untuk membangun persekutuan. Implikasi etis itu paling kentara di mana Paulus menggunakan bahasa kerabat itu lebih sadar dan intensif untuk mendesakkan suatu tuntutan etis seperti dalam Rom 14:10-21 (5x) dan 1Kor 8:11-13 (4x). Di situ Paulus menghadapi konflik antara kelompok-kelompok Kristen yang kuat dan lemah. Menyebut yang lain sebagai saudara, malahan “saudaramu yang untuknya Kristus telah mati” (1Kor 8:11; 14:15), memberi desakan untuk lebih menghormati yang lain itu sesuai dengan identitas yang dimiliki bersama.
Dan dalam 1Kor 6:5-8 sebutan saudara dipakai 4x untuk menggarisbawahi betapa identitas bersama itu dikhianati kalau seorang saudara membawa saudaranya ke pengadilan di luar Jemaat. Dalam surat Filemon (5x) bahasa-saudara digunakan untuk mengartikan kembali hubungan antara tuan dan budak, agar Filemon dapat menerima Onesimus “bukan lagi sebagai hamba, melainkan lebih dari pada hamba, yaitu sebagai saudara yang kekasih, … baik secara manusia maupun di dalam Tuhan (ay 16). Juga secara manusia (daging), bukan hanya secara rohani!
Maka bahasa-kerabat itu sengaja dipakai Paulus untuk menumbuhkan suatu moral saling menghormati dan saling mendukung, memupuk suatu solidaritas kekeluargaan yang mengoreksi ketidakseimbangan antara tuan dan hamba, orang benar dan orang bersalah, yang kuat dan yang lemah. Hubungan persaudaraan, yang ditandai oleh kasih persaudaraan (philadelphia, Rom 12:10, 1Tes 4:9), juga melampaui batas jemaat lokal (1Tes 4:10). Itu sangat tampak dari praksis menerima tamu dan memberi dukungan kepada pewarta yang berkeliling (Rom 12:13, dll). Solidaritas antarjemaat paling kentara dari kolekte-kolekte beberapa jemaat bagi jemaat miskin (bdk. 2Kor 8 yang juga kaya akan bahasa-saudara). Maka solidaritas kekeluargaan meluas menyangkut juga kebutuhan materiil dan melampaui pula batas lokal.

Solidaritas dibangun melalui ritual pembaptisan serta perjamuan Tuhan

Kendati Paulus agak jarang berbicara tentang kedua ritual dasar itu, namun kita harus mengandaikan  bahwa kedua ritual terpenting yang diulang-ulang untuk menghadirkan peristiwa sentral kematian dan kebangkitan Kristus (Rom 6; 1Kor 11) berperan besar dalam jemaat-jemaat Paulus.
Pembaptisan (agaknya “dalam nama Yesus Kristus”; bdk. 1Kor 1:13) sebagai ritual inisiasi memberi kepada orang-orang Kristen identitasnya yang  baru sebagai milik Kristus dan anggota jemaat. Teks terpenting, Rom 6:1-14, mengungkapkan bagaimana dalam baptisan orang-orang Kristen telah di-inkorporasi dalam peristiwa Kristus, yakni telah mengambil bagian dalam kematian-Nya untuk kelak mengambil bagian pula dalam kebangkitan-Nya.
Dua teks kunci lain tentang baptisan lebih jelas mengungkapkan sisi realitas sosial baru yang diciptakan oleh pembaptisan. Dalam konteks menghadapi saingan rohani di antara orang-orang Korintus, ketika mengingatkan mereka bahwa mereka anggota-anggota satu tubuh, yakni jemaat sebagai tubuh Kristus, Paulus menegaskan bahwa dalam satu Roh mereka semua, “baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh” (1Kor 12:13). Di lain tempat, dalam konteks argumen bahwa orang-orang Galatia adalah anak-anak Allah dan ahli waris janji Allah kepada Abraham, Paulus menegaskan: “kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus.  Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Gal 3:27-28).
Kedua teks pembaptisan ini mirip dalam menyebut pasangan-pasangan orang yang berlawanan: Yahudi/Yunani, budak/merdeka, dan dalam Galatia juga laki-laki/perempuan. Dalam 1Kor 12, mereka dikatakan menjadi satu tubuh, sedangkan dalam Gal 3 lebih radikal dikatakan bahwa dalam Kristus perbedaan itu sudah tidak ada lagi. Jelas bahwa dalam jemaat-jemaat Kristen ketiga distingsi itu tidak sama sekali ditiadakan, tetapi Paulus mau mengatakan bahwa relasi antara yang berlawanan itu secara nyata diubah dalam Kristus, dengan membawa suatu kesederajatan. Maka pembaptisan membangun suatu bentuk baru solidaritas yang melampaui batas-batas distingsi-distingsi lama.
Aspek membangun etos persekutuan dan solidaritas lebih jelas lagi dari kedua teks eksplisit tentang Perjamuan Tuhan, yakni 1Kor 10:16-17 dan 11:17-34. Dalam teks pertama, ketika menjelaskan mengapa jemaat harus menjauhi penyembahan berhala dan makanan yang dipersembahkan kepada berhala, Paulus menyatakan bahwa minum dari cawan dan makan dari roti perjamuan Tuhan menciptakan persekutuan (koinõnia) dengan darah dan tubuh Kristus. Bahkan lebih spesifik, mendapat bagian dalam roti yang satu membuat orang-orang Kristen yang banyak menjadi satu tubuh. Perjamuan Tuhan membangun suatu etos komunitas yang melindungi mereka terhadap bahaya “bersekutu dengan roh-roh jahat” (10:20).
Fokus pada solidaritas banyak orang dalam satu tubuh paling kentara dari teks kedua tentang Perjamuan Tuhan (11:17-34). Dalam ay. 23-26, Paulus meneruskan tradisi bahwa dalam perjamuan Tuhan digelarkan kembali peristiwa Tuhan Yesus yang memberikan diri-Nya dalam kematian (“tubuh-Ku, yang diserahkan bagi kamu”). Ini pun harus mereka lakukan (poieite) untuk tetap menghadirkan (anamnèsis) peristiwa Kristus yang memberikan diri-Nya. Paulus melaporkan tradisi perjamuan itu karena memberi makna kepada perjamuan bersama yang diadakan oleh jemaat, atau lebih tepat, karena dalam perjamuan bersama itu mereka tidak melakukan di antara mereka apa yang dilakukan Tuhan Yesus bagi mereka. Mereka berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan, sebab makan dan minum secara taka layak, tanpa mengakui tubuh Tuhan (ay. 27-29). Di sini kata tubuh Tuhan tampak bermakna ganda. Mereka tidak mengakui atau menangkap makna  (discern) dari roti / tubuh Kristus ketika mereka tidak mengakui jemaat sebagai tubuh Kristus.  Sebab ketika mereka berkumpul untuk perjamuan Tuhan, “tiap-tiap orang memakan dahulu makanannya sendiri, sehingga yang seorang lapar dan yang lain mabuk” (ay. 21). Dengan cara demikian mereka menghina jemaat sebagai tubuh Kristus, sehingga Paulus mengatakan bahwa mereka tidak melakukan perjamuan Tuhan, yang adalah pemberian diri-Nya bagi orang lain. Maka jelas bagi Paulus perjamuan Tuhan bertujuan untuk memperkuat solidaritas dengan memperlihatkan bagaimana orang banyak menjadi satu tubuh dalam Kristus melalui sharing dalam perjamuan.
Maka bersama tradisi jemaat awal, Paulus melihat baptisan dan perjamuan Tuhan yang menggelarkan kembali kejadian sentral kisah Yesus, sebagai tindakan sosial yang membangun komunitas dan solidaritas.  Dalam baptisan dan perjamuan Tuhan orang yang banyak dijadikan suatu tubuh baru, dan dibangun serta diperkokoh  suatu bentuk baru solidaritas (Horrell 110).

Kolekte-kolekte: demi keseimbangan dan ucapan syukur

Sesuai komitmennya di Sidang Yerusalem (Gal 2:10), Paulus sungguh-sungguh mengusahakan kolekte gereja-gereja Galatia, Makedonia, dan Akhaya bagi orang-orang miskin di Yerusalem (1Kor 16:1‑4). Agaknya usaha itu pernah putus dalam jemaat-jemaat Galatia dan pasti demikian di Korintus karena konflik-konflik, tetapi dalam 2Kor 8-9 kita menyaksikan proyek kolekte itu hidup lagi.
Apa tujuan kolekte itu diadakan? Tampak ada maksud untuk memperkuat kesatuan gereja  melalui solidaritas antarjemaat, khususnya antara jemaat-jemaat Yahudi dan Yunani, juga solidaritas timbal balik antara jemaat lebih makmur yang membagi materi dan jemaat miskin yang telah membagi kekayaan rohani (Rm 15:27; 2Kor 8:14).
Namun demikian, alasan Paulus yang primer adalah meringankan derita orang-orang kudus yang miskin di Yerusalem, suatu masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh usaha jemaat Yerusalem sendirian (Kis 4:34-35; 6:1). Melalui redistribusi kekayaan Paulus ingin membawa keringanan (anesis) dan keseimbangan yang wajar (isotès) kepada jemaat yang kekurangan di tengah yang berkelebihan  (2Koe 8:13-15). [3]
Perhatian Paulus yang khusus bagi jemaat miskin di Yerusalem – sampai juga mengizinkan jemaat miskin di Makedonia ikut serta dalam kolekte itu (2Kor 8:2-3) – tampak mempunyai motivasi lebih dalam lagi, yakni sebagai ucapan syukur kepada Allah dan demi pujian kepada Allah (2Kor 9:11-13). Kolekte itu dilihat sebagai karunia Allah (8:1,4,6,7,19), suatu tindakan berbagi sebagai jawaban “syukur kepada Allah karena karunia-Nya yang tak terkatakan itu!” (9:15).

Kristus sebagai paradigma

Dalam konteks kolekte itu kita menemukan suatu pernyataan kunci tentang apa yang mendorong Paulus dan jemaat untuk memberi dengan murah hati, yakni contoh Yesus Kristus. “Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya” (2Kor 8:9). Diperdebatkan apakah ‘kemiskinan’ Yesus Kristus menunjuk kepada inkarnasi[4]  atau kepada kematian-Nya. Kiranya tak salah untuk menerima seluruh pelayanan-Nya mulai dari kelahiran-Nya dari seorang perempuan dan takluk-Nya kepada hukum (Gal 4:4) sampai dengan kematian-Nya sebagai cara Ia menjadi miskin bagi kita, supaya kita menjadi kaya. Itupun cara Paulus sendiri ‑ sedikit sebelumnya ‑ menggambarkan pengalamannya sendiri sebagai rasul: “sebagai orang miskin, namun memperkaya banyak orang” (2Kor 6:10). Karena mengikuti teladan Kristus, Paulus berani menawarkan dirinya pun sebagai teladan untuk diikuti.
Yang Paulus maksudkan dengan miskin dan kaya di sini, agaknya bukan bahwa Kristus melepaskan kekayaan materiil untuk membuat orang Kristen ekonomis kaya. Tetapi suatu pemahaman secara rohani melulu, pun suatu ekstrem yang kurang tepat, sebab apa yang dilakukan oleh Yesus ternyata dapat memotivasi jemaat untuk memberi uang. Yesus yang merendahkan diri dari kelahirannya sampai kematiannya yang aib, yang di sini digambarkan sebagai hal menjadi miskin secara sosial dan materiil, membawa suatu kekayaan rohani bagi orang Kristen dan serentak juga menjadi model bagi mereka untuk memberikan dirinya melalui pemberian materi. (Horrell 238).
Paradigma Kristus dalam 2Kor 8 ini mengantar kita kepada teks serupa yang lebih penting lagi dan sangat banyak didiskusikan, yakni himne Yesus Kristus yang merendahkan diri dan ditinggikan oleh Allah, dalam Flp 2.[5] Paradigma etis mana yang ingin Paulus kemukakan melalui himne ini? Dengan melihat kembali kepada ay.3-4 yang menjadi alasan untuk mengutip himne ini, Paulus ingin menampilkan Kristus sebagai teladan kerendahan hati (tapeinophrosunè), merendahkan diri dan menganggap orang lain lebih utama serta memperhatikan kepentingan orang lain itu. Paradigma seperti itu digambarkan dalam himne tentang Kristus yang tidak memanfaatkan[6] kesetaraan-Nya dengan Allah tetapi mengosongkan diri, menjadi pelayan, bahkan merendahkan diri sampai kematian di salib yang aib. Barangkali Paulus di sini pun memaksudkan seluruh pemberian-diri Yesus dari kelahiran sampai dengan kematian-Nya sebagai satu tindakan pemberian diri yang tak henti-hentinya. Kendati dalam himne ini tak dieksplisitkan, Paulus mengertinya sebagai perendahan diri untuk orang lain.[7]
Itu pun pola pelayanan yang diperlihatkan oleh Paulus sendiri, baik dalam konteks sebelum maupun sesudahnya. Jati diri Paulus sepenuhnya berakar dalam Kristus (1:20-21; 3:7-9); maka ia pun menjadi serupa dengan Dia dalam penderitaan dan kematian, dengan keyakinan akan mengenal juga kuasa kebangkitan Kristus (3:10); karena itu ia masih mau tinggal di dunia oleh karena jemaat  (1:23-25). Cara hidup Paulus dan juga Timotius dan Epafroditus boleh ditawarkan sebagai model untuk diikuti oleh jemaat (3:17), sebab model rasul-rasul ini menggemakan model Kristus dalam 2:6-8 tadi. Dengan meneladani Yesus Kristus dan rasul-rasul-Nya dalam hal merendahkan diri demi orang lain, tubuh hina orang-orang percaya pun akan diubah, hingga menjadi serupa dengan tubuh Kristus yang mulia (3:21).
Paradigma Kristus yang merendahkan dan memberi diri-Nya memainkan peranan sentral dalam ajakan Paulus agar jemaat memandang orang lain bersama kepentingannya lebih utama dan bersedia merendahkan diri dan berbagi dengan mereka miskin dan lemah agar tercipta keseimbangan.[8]




[1]     David G. Horrell, Solidaritas and Difference: A Contemporary Reading of Paul’s Ethics, London: T&T Clark International, 2005, pp. 99-132. Setelah menyelesaikan disertasi tentang 1&2Korintus dan 1Clemens di Cambridge, sejak 1995 Horrell mengajar Perjanjian Baru di Universitas Exeter dengan spesialisasi surat-surat Paulus. Beberapa publikasinya yang terbaru menyelidiki hermeneutika ekologis, baik dalam Paulus dan maupun Alkitab seluruhnya.
[2]     Paling terkenal penggunaannya oleh Menius Agrippa untuk meyakinkan kelas bawah (kaki, tangan, mulut) yang mendukung kehidupan kelas atas (perut) yang sepertinya menikmati saja tanpa berbuat apa-apa, agar kelas bawah tetap menjaga harmoni, sebab kalau anggota-anggota itu mogok menyediakan makanan bagi perut mereka semua turut menjadi lesu. “In the days when all the parts of the human body were not as now agreeing together, but each member took its own course and spoke its own speech, the other members, indignant at seeing that everything acquired by their care and labour and ministry went to the belly, whilst it, undisturbed in the middle of them all, did nothing but enjoy the pleasures provided for it, entered into a conspiracy; the hands were not to bring food to the mouth, the mouth was not to accept it when offered, the teeth were not to masticate it. Whilst, in their resentment, they were anxious to coerce the belly by starving it, the members themselves wasted away, and the whole body was reduced to the last stage of exhaustion. Then it became evident that the belly rendered no idle service, and the nourishment it received was no greater than that which it bestowed by returning to all parts of the body this blood by which we live and are strong, equally distributed into the veins, after being matured by the digestion of the food.” (Livius, History of Rome 2, 32).
[3]     Apakah Paulus yang misalnya dengan pemberitaan Yesus Kristus sebagai Tuhan berani menantang Imperium Romanum dan kaisar-kaisarnya yang dipertuhan, di sini dengan mengumpulkan dana dari kota-kota yang kuat perekonomian untuk umat miskin di Yerusalem juga bermaksud menantang kekuasaan imperium dan membalikkan arus kerakusan sentripetalnya, dan apakah dengan demikian juga jaringan jemaat-jemaat kristiani sekarang dipanggil untuk menantang hegemoni ekonomis pasar global yang rakus dengan suatu gerakan solidaritas yang mengembalikan kapital yang diraup oleh pusat-pusat ke pinggir-pinggir, ke tempat-tempat lokal yang tertinggal, dibahas 0leh  Martin Lukito Sinaga, “Global Empire, Tuhan, dan Kolekte Rasul Paulus,” dalam: Tak Berbatas, Tak Bermegah: Warisan Rasul Paulus, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2011, hlm. 100-108. Gagasan itu mungkin cocok untuk Korintus yang sejahtera tetapi kurang untuk Makedonia yang sendiri dikatakan miskin.
[4]     Kesetiakawanan Allah dengan manusia itu terwujud dalam Yesus yang menjadi manusia seperti kita. “Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat.” (Gal 4:4). Yesus merupakan wujud solidaritas Allah dengan manusia yang kehilangan kebebasannya, justru karena Yesus sendiri “menjadi sama, senasib, bersetiakawan atau solider dengan manusia yang berdosa dan malang.” I. Suharyo, “Solidaritas: Pikiran dan Keyakinan Dasar Paulus tentang Keselamatan,” dalam Penuntun 2 (1996) No 6: 166.
[5]     Tentang diskusi seru apakah teks ini memang juga bermaksud paradigmatis (kebanyakan penafsir sekarang) atau Yesus sama sekali tidak ditampilkan sebagai contoh bagi jemaat Filipi (Käsemann, cs.), lihat Horrell 206-210). Bagi Horrell teks ini etis bukan dalam interpretasi ‘contoh saja’, tetapi sebagai teks liturgis “that shapes the beliefs, identity, and behaviour of those who affirm it; it has to do with both worldview and ethos” (209-10).
[6]     Terjemahan harpagmon  dengan memanfaatkan (take advantage of, exploit) sedikit menghindari masalah yang tak terselesaikan apakah himne ini berbicara tentang inkarnasi (TB) atau tentang suatu perebutan kesetaraan dengan Allah seperti dicoba oleh manusia pertama dalam Kej 3.
[7]     Seperti dalam  1Kor 15:3, dari kebangkitan Yesus Paulus yakin bahwa “Kristus telah mati karena dosa-dosa kita”. Meski sendiri tidak berdosa, Kristus telah “menjadi dosa karena kita” dan “menjadi kutuk karena kita, untuk membebaskan kita dari dosa dan kutuk (2Kor 5:21; Gal 3:13). Dari teks-teks ini jelas bahwa bukan hanya penjelmaan tetapi juga kematian Yesus adalah wujud kesetiakawanan atau solidaritas Yesus dan Allah dengan manusia.
[8]     Titik tolak untuk memahami tema solidaritas dalam Paulus adalah keyakinannya bahwa jemaat dipanggil kepada persekutuan Yesus Kristus (eis koinõnian tou … Ièsou Khristou; 1Kor 1:9) dan hidup dalam persekutuan Roh Kudus (koinõnia tou hagiou pneumatos; 2Kor 13:13; Flp 2:1). Sesungguhnya, melalui Yesus Kristus dan Roh Kudus, Allah sendiri menjadi solider dengan manusia. “Dengan jalan mengutus Anak-Nya sendiri dalam daging, yang serupa dengan daging yang dikuasai dosa karena dosa,” (Rm 8:4) Allah menunjukkan kesetiaan-Nya dengan manusia yang Ia bebaskan dari kuasa dosa.

Tidak ada komentar: