Solidaritas Jemaat Perjanjian Baru (part 2)
Solidaritas sebagai dasar etika Paulus
Membatasi diri pada pembahasan akar kata koinõn- dalam surat-surat Paulus meninggalkan kesan seolah-olah
solidaritas hanya merupakan salah satu temanya saja di samping banyak yang
lain. Kesan itu ditantang oleh David Horrell dalam bukunya Solidaritas and Difference.[1] Dalam studi tentang etika Paulus dalam dialog
dengan pelbagai arus etika modern (komunitarian dan liberal) Horrell mengangkat
corporate solidarity, solidaritas
banyak orang menjadi satu tubuh, sebagai metanorm,
norma dasar, untuk seluruh etika Paulus, bersamaan dengan norma dasar other-regard, suatu kata bentukan baru
yang mencakup nilai-nilai kunci dalam etika Paulus, seperti kasih, merendahkan
diri, melepaskan status, dst.
Menurut Horrell, solidaritas tampak sebagai norma
dasar dalam membentuk komunitas kristiani, apabila diberi perhatian kepada
sejumlah unsur sentral dalam hidup jemaat Kristen awal dan dalam surat-surat
Paulus, seperti kedua ritual dasar, baptisan dan perjamuan Tuhan; sebutan
frekuen saudara-saudara (adelphoi);
seruan-seruan Paulus untuk memulihkan kesatuan bila berhadapan dengan
perpecahan; dan gagasan jemaat sebagai tubuh. Penjelasan kita mulai dari yang
terakhir.
Tubuh dan anggota-anggotanya
Gagasan bahwa orang-orang Kristen membentuk suatu
tubuh membantu untuk memahami solidaritas macam apa yang didorong oleh Paulus.
Gambaran tubuh amat cocok untuk menggarisbawahi kesatuan banyak anggota dalam
satu tubuh, tetapi sekaligus menggarisbawahi perlunya perbedaan dan
keanekaragaman (Horrell 121). Kedua teks yang penting adalah 1Kor 12:12-31 dan
Rom 12:4-8; teks terakhir tampak sebagai ringkasan dari teks pertama. Ide
sentral dalam keduanya ialah ‘banyak dan satu’, ‘bagian dan keseluruhan’.
Gambaran tubuh bermaksud menekankan kedua sisi; satu tubuh dan banyak anggota,
masing-masing dengan sifat, karunia, dan fungsi yang berbeda namun serentak
bagian dari satu keseluruhan (1Kor 12:12-14; Rm 12:4-5). Maka gambaran ini
tegas menyangkal tuduhan yang ada kalanya dilontarkan terhadap Paulus bahwa
perjuangannya untuk kesatuan jugalah untuk kesamaan
dan dengan demikian menindas yang berlainan.
Dalam dunia kuno, gambaran tubuh sering dipakai
dalam pemikiran sosial-politik, a.l. untuk mempertahankan status quo suatu
hirarki.[2] Tetapi Paulus dalam menghadapi orang-orang
Korintus yang menganggap dirinya lebih spiritual daripada yang lain, memakai
gambaran tubuh tidak untuk memperkuat 'hierarki' itu tetapi justru untuk
mempertanyakannya. Setelah menegaskan poin kesatuan dan keanekaragaman (1Kor
12:12-14), Paulus mengilustrasikannya terlebih dahulu dengan mengacu kepada
pasangan anggota tubuh yang sebanding: kaki dan tangan, telinga dan mata (ay.
15-20). Namun dalam ay. 21-26 perhatiannya bergeser dengan memilih pasangan anggota tubuh
yang menunjukkan hubungan lebih hirarkis: mata terhadap tangan, kepala terhadap
kaki. Di situ Paulus justru tidak mendukung hirarki alamiah itu. Anggota tubuh
yang tampaknya – itu hanya menurut pandangan orang– paling lemah
dan kurang terhormat, justru yang paling dibutuhkan dan diberi penghormatan
yang lebih (ay 22-24a). Penyusunan tubuh secara demikian yang membalikkan tata
penghormatan dengan memberinya secara khusus justru kepada yang tampaknya tidak mulia, bahkan dikatakan
Paulus adalah pekerjaan Allah sendiri (ay 24b). Yang lebih rendah
ditinggikan-Nya. Pembalikan itu dikerjakan oleh Allah supaya jangan terjadi perpecahan
dalam tubuh tetapi anggota-anggota yang berbeda saling memperhatikan (ay. 25).
Saling empati dalam penderitaan dan sukacita membangun solidaritas di antara
mereka. Maka sambil menggarisbawahi perbedaan dan keragaman, Paulus
memperjuangkan solidaritas dan saling hormat yang bersifat egalitarian.
Menghadapi orang-orang
Korintus yang memandang dirinya lebih spiritual (karunia bahasa lidah), Paulus
menggunakan gambaran tubuh bukan saja untuk memupuk suatu bentuk solidaritas
dari semua dalam satu tubuh, tetapi lebih khusus suatu solidaritas yang
dikembangkan dengan membalikkan posisi tinggi dan rendah, bijak dan bodoh,
terhormat dan kurang terhormat, lalu menumbuhkan suatu sikap hormat satu sama
lain yang lebih berjiwa kesederajatan. Dalam pembalikan itu, 1Kor 12 dekat
dengan cara Paulus memupuk kesatuan
berhadapan dengan perpecahan dalam 1Kor 1-4 seperti yang akan kita lihat
sekarang.
Memupuk kesatuan di tengah perpecahan
Perpecahan jemaat Korintus
yang dihadapi Paulus dalam 1Kor 1-4 tampak tidak disebabkan oleh perbedaan
ajaran, tetapi lebih bersifat saingan dan rasa iri hati (1Kor 3:3) karena ada
yang mengklaim hikmat, kuasa, dan status yang mencerminkan nilai-nilai dunia
Yunani dan juga Yahudi (Horrell 116). Cara Paulus berusaha mengembalikan jemaat
yang terpecah itu kepada kesatuan, bukanlah dengan seoptimal mungkin
menggunakan segala kekuatan dan hikmat yang ada pada mereka atau mereka klaim
untuk dirinya. Sebaliknya, Paulus justru menjungkirbalikkan tata nilai dunia
mereka itu. Untuk itu Paulus mulai dengan pemberitaan tentang salib (1:18-25),
“berita yang menunjukkan penolakan tegas Allah terhadap hikmat dan status
duniawi, suatu penolakan yang juga tercermin dalam cara Allah memanggil suatu
jemaat yang terdiri atas orang-orang yang tidak berarti (1:26-28) dan tercermin
pula dalam cara Paulus telah menyampaikan injil tanpa kata-kata indah dan
dengan sangat takut dan gentar” (2:1-5; Horrell 117). Paulus memandang dan
membina jemaat sebagai suatu persekutuan di mana tak ada tempat bagi siapa pun
untuk memegahkan diri atas yang lain.
Bahkan para rasul dan
pemimpin digambarkan sebagai pelayan, pekerja, kawan sekerja Allah dalam tugas
mendirikan bangunan Allah, ialah jemaat Korintus (3:5-23). Pelbagai kiasan
dalam bab 3 melukiskan jemaat sebagai badan milik Allah: ladang Allah, bangunan
Allah, Bait Allah (ay. 9, 16). Dalam kiasan seperti itu jemaat bukanlah milik
salah seorang rasul, entah Paulus atau Apolos, dst. (1:12); sebaliknya, dalam
jemaat baru Allah, sebagai Bait Allah dan kediaman Roh Kudus, para rasul justru
milik jemaat, tetapi jemaat adalah milik Kristus, dan Kristus adalah milik
Allah.
Untuk memulihkan jemaat dari
perpecahan yang disebabkan oleh klaim-klaim hikmat yang saling bersaing, Paulus
menyangkal dasar klaim-klaim itu dengan berita salib yang meniadakan
klaim-klaim hikmat dan kekuatan duniawi. Tetapi kepada orang-orang yang sombong
itu Paulus pun berani memberi ajakan: “turutilah teladanku” (ay. 16,18).
Teladan Paulus di sini bukanlah sesuatu yang ia banggakan, sebab dalam konteks
sebelumnya digambarkan tak lain daripada hidupnya sebagai rasul yang oleh Allah
diberi tempat yang paling rendah, hina, difitnah, sebagai sampah dunia. Melalui
pembalikan nilai dunia tang tampak dalam salib Kristus dan pelayanan Paulus, ia
berusaha membawa mereka yang terpecah-pecah itu kembali kepada kesatuan jemaat
Allah dan solidaritas satu sama lain.
Suatu persekutuan saudara-saudara: identitas dan etos
Dalam seruan untuk kesatuan dalam 1Kor 1-4,
Paulus mengintensifkan perjuangannya dengan menyapa jemaat Korintus enam kali
sebagai adelphoi, “saudara-saudara”.
Julukan itu puluhan kali digunakan dalam surat 1Korintus yang sesungguhnya
seluruhnya bergumul untuk memulihkan kesatuan umat di Korintus; dan digunakan
lebih dari seratus kali dalam ketujuh surat yang tak pernah diragukan sebagai
surat asli Paulus (lebih jarang dalam surat-surat Deutero-Paulinis; Horrell
111). Dibandingkan dengan etiket lain (“orang-orang kudus” 25x; “orang-orang
percaya” 15x), adelphoi jelaslah
sebutan yang favorit Paulus untuk menunjukkan identitas jemaatnya dan
membedakannya dari dunia luar.
Melalui sebutan “saudara” yang juga sudah dipakai
dalam Perjanjian Lama untuk sesama orang Israel dan juga dalam
kelompok-kelompok kuno lain, diungkapkan adanya dan perlunya suatu hubungan
khusus, yang seperti antar kerabat. Bagi Paulus adelphoi bukan sebutan rutin saja tetapi mengandung peran dan
tingkah laku tertentu yang diharapkan untuk membangun persekutuan. Implikasi
etis itu paling kentara di mana Paulus menggunakan bahasa kerabat itu lebih
sadar dan intensif untuk mendesakkan suatu tuntutan etis seperti dalam Rom
14:10-21 (5x) dan 1Kor 8:11-13 (4x). Di situ Paulus menghadapi konflik antara
kelompok-kelompok Kristen yang kuat dan lemah. Menyebut yang lain sebagai
saudara, malahan “saudaramu yang untuknya Kristus telah mati” (1Kor 8:11;
14:15), memberi desakan untuk lebih menghormati yang lain itu sesuai dengan
identitas yang dimiliki bersama.
Dan dalam 1Kor 6:5-8 sebutan saudara dipakai 4x
untuk menggarisbawahi betapa identitas bersama itu dikhianati kalau seorang
saudara membawa saudaranya ke pengadilan di luar Jemaat. Dalam surat Filemon
(5x) bahasa-saudara digunakan untuk mengartikan kembali hubungan antara tuan
dan budak, agar
Filemon dapat menerima Onesimus “bukan lagi sebagai hamba, melainkan lebih dari
pada hamba, yaitu sebagai saudara yang kekasih, … baik secara manusia maupun di
dalam Tuhan (ay 16). Juga secara manusia (daging), bukan hanya secara rohani!
Maka bahasa-kerabat itu
sengaja dipakai Paulus untuk menumbuhkan suatu moral saling menghormati dan
saling mendukung, memupuk suatu solidaritas kekeluargaan yang mengoreksi
ketidakseimbangan antara tuan dan hamba, orang benar dan orang bersalah, yang
kuat dan yang lemah. Hubungan persaudaraan, yang ditandai oleh kasih
persaudaraan (philadelphia, Rom
12:10, 1Tes 4:9), juga melampaui batas jemaat lokal (1Tes 4:10). Itu sangat
tampak dari praksis menerima tamu dan memberi dukungan kepada pewarta yang
berkeliling (Rom 12:13, dll). Solidaritas antarjemaat paling kentara dari
kolekte-kolekte beberapa jemaat bagi jemaat miskin (bdk. 2Kor 8 yang juga kaya
akan bahasa-saudara). Maka solidaritas kekeluargaan meluas menyangkut juga
kebutuhan materiil dan melampaui pula batas lokal.
Solidaritas dibangun melalui ritual pembaptisan serta perjamuan Tuhan
Kendati Paulus agak jarang berbicara tentang
kedua ritual dasar itu, namun kita harus mengandaikan bahwa kedua ritual terpenting yang
diulang-ulang untuk menghadirkan peristiwa sentral kematian dan kebangkitan
Kristus (Rom 6; 1Kor 11) berperan besar dalam jemaat-jemaat Paulus.
Pembaptisan (agaknya “dalam nama Yesus Kristus”;
bdk. 1Kor 1:13) sebagai ritual inisiasi memberi kepada orang-orang Kristen
identitasnya yang baru sebagai milik
Kristus dan anggota jemaat. Teks terpenting, Rom 6:1-14, mengungkapkan
bagaimana dalam baptisan orang-orang Kristen telah di-inkorporasi dalam
peristiwa Kristus, yakni telah mengambil bagian dalam kematian-Nya untuk kelak
mengambil bagian pula dalam kebangkitan-Nya.
Dua teks kunci lain tentang baptisan lebih jelas
mengungkapkan sisi realitas sosial baru yang diciptakan oleh pembaptisan. Dalam
konteks menghadapi saingan rohani di antara orang-orang Korintus, ketika
mengingatkan mereka bahwa mereka anggota-anggota satu tubuh, yakni jemaat
sebagai tubuh Kristus, Paulus menegaskan bahwa dalam satu Roh mereka semua, “baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang
merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh” (1Kor 12:13). Di lain tempat, dalam konteks argumen bahwa orang-orang Galatia adalah
anak-anak Allah dan ahli waris janji Allah kepada Abraham, Paulus menegaskan:
“kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus. Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau
orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau
perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Gal 3:27-28).
Kedua teks pembaptisan ini
mirip dalam menyebut pasangan-pasangan orang yang berlawanan: Yahudi/Yunani, budak/merdeka, dan dalam Galatia juga laki-laki/perempuan. Dalam 1Kor 12, mereka dikatakan menjadi satu
tubuh, sedangkan dalam Gal 3 lebih radikal dikatakan bahwa dalam Kristus
perbedaan itu sudah tidak ada lagi. Jelas bahwa dalam jemaat-jemaat Kristen
ketiga distingsi itu tidak sama sekali ditiadakan, tetapi Paulus mau mengatakan
bahwa relasi antara yang berlawanan itu secara nyata diubah dalam Kristus,
dengan membawa suatu kesederajatan. Maka pembaptisan membangun suatu bentuk
baru solidaritas yang melampaui batas-batas distingsi-distingsi lama.
Aspek membangun etos
persekutuan dan solidaritas lebih jelas lagi dari kedua teks eksplisit tentang
Perjamuan Tuhan, yakni 1Kor 10:16-17 dan 11:17-34. Dalam teks pertama, ketika
menjelaskan mengapa jemaat harus menjauhi penyembahan berhala dan makanan yang
dipersembahkan kepada berhala, Paulus menyatakan bahwa minum dari cawan dan
makan dari roti perjamuan Tuhan menciptakan persekutuan (koinõnia) dengan darah dan tubuh Kristus. Bahkan lebih spesifik,
mendapat bagian dalam roti yang satu
membuat orang-orang Kristen yang banyak menjadi satu tubuh. Perjamuan Tuhan membangun suatu etos komunitas yang
melindungi mereka terhadap bahaya “bersekutu dengan roh-roh jahat” (10:20).
Fokus pada solidaritas
banyak orang dalam satu tubuh paling kentara dari teks kedua tentang Perjamuan
Tuhan (11:17-34). Dalam ay. 23-26, Paulus meneruskan tradisi bahwa dalam
perjamuan Tuhan digelarkan kembali peristiwa Tuhan Yesus yang memberikan diri-Nya dalam kematian
(“tubuh-Ku, yang diserahkan bagi kamu”). Ini pun harus mereka lakukan (poieite) untuk tetap menghadirkan (anamnèsis)
peristiwa Kristus yang memberikan diri-Nya. Paulus melaporkan tradisi perjamuan
itu karena memberi makna kepada perjamuan bersama yang diadakan oleh jemaat,
atau lebih tepat, karena dalam perjamuan bersama itu mereka tidak melakukan di
antara mereka apa yang dilakukan Tuhan Yesus bagi mereka. Mereka berdosa
terhadap tubuh dan darah Tuhan, sebab makan dan minum secara taka layak, tanpa
mengakui tubuh Tuhan (ay. 27-29). Di sini kata tubuh Tuhan tampak bermakna
ganda. Mereka tidak mengakui atau menangkap makna (discern)
dari roti / tubuh Kristus ketika mereka tidak mengakui jemaat sebagai tubuh
Kristus. Sebab ketika mereka berkumpul untuk perjamuan Tuhan, “tiap-tiap
orang memakan dahulu makanannya sendiri, sehingga yang seorang lapar dan yang
lain mabuk” (ay. 21). Dengan cara demikian mereka menghina jemaat sebagai tubuh
Kristus, sehingga Paulus mengatakan bahwa mereka tidak melakukan perjamuan Tuhan,
yang adalah pemberian diri-Nya bagi orang lain. Maka jelas bagi Paulus
perjamuan Tuhan bertujuan untuk memperkuat solidaritas dengan memperlihatkan
bagaimana orang banyak menjadi satu tubuh dalam Kristus melalui sharing dalam
perjamuan.
Maka bersama tradisi jemaat
awal, Paulus melihat baptisan dan perjamuan Tuhan yang menggelarkan kembali
kejadian sentral kisah Yesus, sebagai tindakan sosial yang membangun komunitas
dan solidaritas. Dalam baptisan dan
perjamuan Tuhan orang yang banyak dijadikan suatu tubuh baru, dan dibangun
serta diperkokoh suatu bentuk baru
solidaritas (Horrell 110).
Kolekte-kolekte: demi keseimbangan dan ucapan syukur
Sesuai komitmennya di Sidang
Yerusalem (Gal 2:10), Paulus sungguh-sungguh mengusahakan kolekte gereja-gereja
Galatia, Makedonia, dan Akhaya bagi orang-orang miskin di Yerusalem (1Kor 16:1‑4).
Agaknya usaha itu pernah putus dalam jemaat-jemaat Galatia dan pasti demikian
di Korintus karena konflik-konflik, tetapi dalam 2Kor 8-9 kita menyaksikan
proyek kolekte itu hidup lagi.
Apa tujuan kolekte itu
diadakan? Tampak ada maksud untuk memperkuat kesatuan gereja melalui solidaritas antarjemaat, khususnya
antara jemaat-jemaat Yahudi dan Yunani, juga solidaritas timbal balik antara
jemaat lebih makmur yang membagi materi dan jemaat miskin yang telah membagi
kekayaan rohani (Rm 15:27; 2Kor 8:14).
Namun demikian, alasan
Paulus yang primer adalah meringankan derita orang-orang kudus yang miskin di
Yerusalem, suatu masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh usaha jemaat
Yerusalem sendirian (Kis 4:34-35; 6:1). Melalui redistribusi kekayaan Paulus
ingin membawa keringanan (anesis) dan
keseimbangan yang wajar (isotès)
kepada jemaat yang kekurangan di tengah yang berkelebihan (2Koe 8:13-15). [3]
Perhatian Paulus yang khusus
bagi jemaat miskin di Yerusalem – sampai juga mengizinkan jemaat miskin di
Makedonia ikut serta dalam kolekte itu (2Kor 8:2-3) – tampak mempunyai motivasi
lebih dalam lagi, yakni sebagai ucapan syukur kepada Allah dan demi pujian
kepada Allah (2Kor 9:11-13). Kolekte itu dilihat sebagai karunia Allah
(8:1,4,6,7,19), suatu tindakan berbagi sebagai jawaban “syukur kepada Allah
karena karunia-Nya yang tak terkatakan itu!” (9:15).
Kristus sebagai paradigma
Dalam konteks kolekte itu
kita menemukan suatu pernyataan kunci tentang apa yang mendorong Paulus dan
jemaat untuk memberi dengan murah hati, yakni contoh Yesus Kristus. “Karena
kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia oleh
karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh
karena kemiskinan-Nya” (2Kor 8:9). Diperdebatkan apakah ‘kemiskinan’ Yesus
Kristus menunjuk kepada inkarnasi[4] atau kepada kematian-Nya. Kiranya tak salah
untuk menerima seluruh pelayanan-Nya mulai dari kelahiran-Nya dari seorang
perempuan dan takluk-Nya kepada hukum (Gal 4:4) sampai dengan kematian-Nya
sebagai cara Ia menjadi miskin bagi kita, supaya kita menjadi kaya. Itupun cara
Paulus sendiri ‑ sedikit sebelumnya ‑ menggambarkan pengalamannya sendiri
sebagai rasul: “sebagai orang miskin, namun memperkaya banyak orang” (2Kor
6:10). Karena mengikuti teladan Kristus, Paulus berani menawarkan dirinya pun
sebagai teladan untuk diikuti.
Yang Paulus maksudkan dengan
miskin dan kaya di sini, agaknya bukan bahwa Kristus melepaskan kekayaan
materiil untuk membuat orang Kristen ekonomis kaya. Tetapi suatu pemahaman
secara rohani melulu, pun suatu ekstrem yang kurang tepat, sebab apa yang
dilakukan oleh Yesus ternyata dapat memotivasi jemaat untuk memberi uang. Yesus
yang merendahkan diri dari kelahirannya sampai kematiannya yang aib, yang di
sini digambarkan sebagai hal menjadi miskin secara sosial dan materiil, membawa
suatu kekayaan rohani bagi orang Kristen dan serentak juga menjadi model bagi
mereka untuk memberikan dirinya melalui pemberian materi. (Horrell 238).
Paradigma Kristus dalam 2Kor 8 ini mengantar kita
kepada teks serupa yang lebih penting lagi dan sangat banyak didiskusikan,
yakni himne Yesus Kristus yang merendahkan diri dan ditinggikan oleh Allah,
dalam Flp 2.[5] Paradigma etis mana yang
ingin Paulus kemukakan melalui himne ini? Dengan melihat kembali kepada ay.3-4
yang menjadi alasan untuk mengutip himne ini, Paulus ingin menampilkan Kristus
sebagai teladan kerendahan hati (tapeinophrosunè),
merendahkan diri dan menganggap orang lain lebih utama serta memperhatikan
kepentingan orang lain itu. Paradigma seperti itu digambarkan dalam himne
tentang Kristus yang tidak memanfaatkan[6] kesetaraan-Nya dengan Allah
tetapi mengosongkan diri, menjadi pelayan, bahkan merendahkan diri sampai
kematian di salib yang aib. Barangkali Paulus di sini pun memaksudkan seluruh
pemberian-diri Yesus dari kelahiran sampai dengan kematian-Nya sebagai satu
tindakan pemberian diri yang tak henti-hentinya. Kendati dalam himne ini tak
dieksplisitkan, Paulus mengertinya sebagai perendahan diri untuk orang lain.[7]
Itu pun pola pelayanan yang
diperlihatkan oleh Paulus sendiri, baik dalam konteks sebelum maupun
sesudahnya. Jati diri Paulus sepenuhnya berakar dalam Kristus (1:20-21; 3:7-9);
maka ia pun menjadi serupa dengan Dia dalam penderitaan dan kematian, dengan
keyakinan akan mengenal juga kuasa kebangkitan Kristus (3:10); karena itu ia
masih mau tinggal di dunia oleh karena jemaat
(1:23-25). Cara hidup Paulus dan juga Timotius dan Epafroditus boleh
ditawarkan sebagai model untuk diikuti oleh jemaat (3:17), sebab model
rasul-rasul ini menggemakan model Kristus dalam 2:6-8 tadi. Dengan meneladani
Yesus Kristus dan rasul-rasul-Nya dalam hal merendahkan diri demi orang lain,
tubuh hina orang-orang percaya pun akan diubah, hingga menjadi serupa dengan
tubuh Kristus yang mulia (3:21).
Paradigma Kristus yang
merendahkan dan memberi diri-Nya memainkan peranan sentral dalam ajakan Paulus
agar jemaat memandang orang lain bersama kepentingannya lebih utama dan
bersedia merendahkan diri dan berbagi dengan mereka miskin dan lemah agar
tercipta keseimbangan.[8]
[1] David G. Horrell, Solidaritas and Difference: A Contemporary
Reading of Paul’s Ethics, London: T&T Clark International, 2005, pp.
99-132. Setelah menyelesaikan disertasi tentang 1&2Korintus dan 1Clemens di
Cambridge, sejak 1995 Horrell mengajar Perjanjian Baru di Universitas Exeter
dengan spesialisasi surat-surat Paulus. Beberapa publikasinya yang terbaru
menyelidiki hermeneutika ekologis, baik dalam Paulus dan maupun Alkitab seluruhnya.
[2] Paling terkenal
penggunaannya oleh Menius Agrippa untuk meyakinkan kelas bawah (kaki, tangan,
mulut) yang mendukung kehidupan kelas atas (perut) yang sepertinya menikmati
saja tanpa berbuat apa-apa, agar kelas bawah tetap menjaga harmoni, sebab kalau
anggota-anggota itu mogok menyediakan makanan bagi perut mereka semua turut
menjadi lesu. “In the days when all the parts of the human body were not as now
agreeing together, but each member took its own course and spoke its own
speech, the other members, indignant at seeing that everything acquired by
their care and labour and ministry went to the belly, whilst it, undisturbed in
the middle of them all, did nothing but enjoy the pleasures provided for it,
entered into a conspiracy; the hands were not to bring food to the mouth, the
mouth was not to accept it when offered, the teeth were not to masticate it.
Whilst, in their resentment, they were anxious to coerce the belly by starving
it, the members themselves wasted away, and the whole body was reduced to the
last stage of exhaustion. Then it became evident that the belly rendered no
idle service, and the nourishment it received was no greater than that which it
bestowed by returning to all parts of the body this blood by which we live and
are strong, equally distributed into the veins, after being matured by the
digestion of the food.” (Livius, History of Rome 2, 32).
[3] Apakah Paulus yang
misalnya dengan pemberitaan Yesus Kristus sebagai Tuhan berani menantang
Imperium Romanum dan kaisar-kaisarnya yang dipertuhan, di sini dengan
mengumpulkan dana dari kota-kota yang kuat perekonomian untuk umat miskin di
Yerusalem juga bermaksud menantang kekuasaan imperium dan membalikkan arus
kerakusan sentripetalnya, dan apakah dengan demikian juga jaringan jemaat-jemaat
kristiani sekarang dipanggil untuk menantang hegemoni ekonomis pasar global
yang rakus dengan suatu gerakan solidaritas yang mengembalikan kapital yang
diraup oleh pusat-pusat ke pinggir-pinggir, ke tempat-tempat lokal yang
tertinggal, dibahas 0leh Martin Lukito
Sinaga, “Global Empire, Tuhan, dan Kolekte Rasul Paulus,” dalam: Tak Berbatas, Tak Bermegah: Warisan Rasul
Paulus, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2011, hlm. 100-108. Gagasan itu
mungkin cocok untuk Korintus yang sejahtera tetapi kurang untuk Makedonia yang
sendiri dikatakan miskin.
[4] Kesetiakawanan Allah
dengan manusia itu terwujud dalam Yesus yang menjadi manusia seperti kita. “Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang
perempuan dan takluk kepada hukum Taurat.” (Gal 4:4). Yesus merupakan wujud
solidaritas Allah dengan manusia yang kehilangan kebebasannya, justru karena
Yesus sendiri “menjadi sama, senasib,
bersetiakawan atau solider dengan manusia yang berdosa dan malang.” I. Suharyo, “Solidaritas: Pikiran dan Keyakinan Dasar Paulus tentang
Keselamatan,” dalam Penuntun 2 (1996)
No 6: 166.
[5] Tentang diskusi seru
apakah teks ini memang juga bermaksud paradigmatis (kebanyakan penafsir
sekarang) atau Yesus sama sekali tidak ditampilkan sebagai contoh bagi jemaat
Filipi (Käsemann, cs.), lihat Horrell 206-210). Bagi Horrell teks ini etis
bukan dalam interpretasi ‘contoh saja’, tetapi sebagai teks liturgis “that
shapes the beliefs, identity, and behaviour of those who affirm it; it has to
do with both worldview and ethos” (209-10).
[6] Terjemahan harpagmon dengan memanfaatkan (take advantage of,
exploit) sedikit menghindari masalah yang tak terselesaikan apakah himne ini
berbicara tentang inkarnasi (TB) atau tentang suatu perebutan kesetaraan dengan
Allah seperti dicoba oleh manusia pertama dalam Kej 3.
[7] Seperti dalam 1Kor 15:3, dari
kebangkitan Yesus Paulus yakin bahwa “Kristus telah mati karena dosa-dosa kita”. Meski sendiri
tidak berdosa, Kristus telah “menjadi dosa karena kita” dan “menjadi kutuk
karena kita, untuk membebaskan kita dari dosa dan kutuk (2Kor 5:21; Gal 3:13).
Dari teks-teks ini jelas bahwa bukan hanya penjelmaan tetapi juga kematian
Yesus adalah wujud kesetiakawanan atau solidaritas Yesus dan Allah dengan
manusia.
[8] Titik tolak untuk memahami
tema solidaritas dalam Paulus adalah keyakinannya bahwa jemaat
dipanggil kepada persekutuan Yesus Kristus (eis
koinõnian tou … Ièsou Khristou; 1Kor 1:9) dan hidup dalam persekutuan Roh
Kudus (koinõnia tou hagiou pneumatos;
2Kor 13:13; Flp 2:1). Sesungguhnya, melalui Yesus Kristus dan Roh Kudus, Allah
sendiri menjadi solider dengan manusia. “Dengan jalan mengutus Anak-Nya sendiri dalam daging, yang serupa dengan daging
yang dikuasai dosa karena dosa,” (Rm 8:4) Allah menunjukkan kesetiaan-Nya
dengan manusia yang Ia bebaskan dari kuasa dosa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar