Solidaritas Kaya-Miskin dalam karya Lukas
Penelusuran arti kata koinonia
telah membawa kita – selain kepada surat-surat Paulus – juga kepada karya
Lukas. Kata ini dipakainya untuk menunjukkan persekutuan orang-orang Kristen
perdana yang memandang kepunyaan mereka tidak sebagai miliknya masing-masing
sendiri tetapi sebagai kepunyaan mereka bersama sehingga tak ada yang
berkekurangan di antara mereka (Kis 2:42-44; 4:32). Apakah gambar tentang
solidaritas jemaat Yerusalem ini suatu mimpi Lukas yang sejenak saja dan
terisolir? Ataukah gambar itu melukiskan sesuatu yang berakar dan amat esensial
dalam seluruh kisah Lukas mulai dari kabar malaikat di Lukas 1 sampai
pemberitaan Injil Paulus di Roma. Apakah gambar itu termasuk inti pokok
pemahaman Lukas akan kabar baik dan hidup berjemaat? Itulah menjadi pertanyaan
kita dalam bawah ini.
Yesus dalam Lukas 4 langsung memperkenalkan
misinya sebagai perutusan “untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang
miskin” (4:18). Tema sentral itu dalam karya Lukas dikembangkan dengan dua
tekanan yang bisa dirasakan saling bertegang. Pertama, Yesus terus menerus
ditampilkan sebagai pemerhati, peneguh, penyembuh, dan pembebas orang-orang
miskin yang sakit dan disingkirkan. Kedua, dalam Injil Lukas ajaran Yesus
sering berupa teguran dan ancaman bagi orang-orang terkemuka yang kaya.
Apakah dari dua tekanan itu harus disimpulkan
bahwa “Kabar Baik bagi orang miskin dalam Lukas serentak menjadi Kabar Buruk
bagi orang kaya”?[1] Atau kedua tekanan ini dengan salah satu cara
dapat menjadi kabar baik serentak bagi kaum miskin dan orang-orang kaya yang
keduanya hadir dalam jemaat Lukas sendiri dan dalam semua jemaat sepanjang
abad? Bagaimana keberpihakan Yesus kepada orang miskin dan kritiknya terhadap
orang kaya menyatu dalam pewartaan kabar baik Injil Lukas?
Kerajaan Allah jelas-jelas dinyatakan adalah
milik orang miskin (6:20), dan tak mungkin dimasuki oleh orang kaya. Namun
demikian, ketidakmungkinan bagi manusia itu dikatakan tidak mustahil bagi
Allah. Ketiga Injil Sinoptik menegaskan bahwa Tuhan sendiri memungkinkan orang
kaya berpartisipasi bersama orang miskin dalam Kerajaan Allah (Mrk 10:21-27,
dsjj) . Lukaslah satu-satunya penginjil yang penasaran untuk memperlihatkan
lebih jauh dengan cara mana Tuhan membuka kemungkinan itu bagi orang kaya.
Untuk itu kita perlu melihat masing-masing tekanan yang disebut di atas.
Kabar Baik bagi orang miskin
Sama seperti masyarakat Galilea pada masa Yesus, begitu juga jemaat
Lukas di Asia atau Yunani terdiri atas
lebih banyak orang miskin tetapi serentak juga sejumlah orang yang mampu dan
kaya. Injil Lukas jelas menyapa kedua-duanya (“berbahagialah kamu yang miskin, …celakalah kamu yang kaya..6:20,24), dan berusaha
mempertemukan mereka di satu meja perjamuan (“undanglah orang-orang miskin, cacat, lumpuh dan
buta” 14:13,21). Hal itu tampak mustahil bagi masyarakat Helenis abad pertama
sebab orang-orang yang dari lapisan sosial berbeda tidak pernah akan berkumpul
di satu meja perjamuan atau dalam satu kelompok (misalnya collegia).
Untuk jemaat campuran dari
pelbagai lapisan masyarakat, kaya dan miskin seperti itu Lukas tak hanya sejak
awal memperkenalkan Yesus sebagai pembawa injil bagi kaum miskin, tertindas,
tawanan dan buta (4:18-19), tetapi mempertahankan posisi sentral mereka dalam
karya Yesus sepanjang kisah injil. Yesus menyatakan mereka bahagia (6:20-23),
dan perwujudan pernyataan itu dapat dilaporkan oleh saksi mata kepada Yohanes
dalam penjara: memang “orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta
menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang
miskin diberitakan kabar baik” (7:22).
Kesaksian ini dan banyak
contoh lain dalam Injil Lukas, sampai dengan penyembuhan pengemis buta
Bartimeus di ujung jalan ke Yerusalem (18:35-43), mencegah kita untuk membaca
ucapan bahagia Yesus atas orang miskin sebagai janji akhir zaman saja. Memang
akan ada penggenapan eskatologis; dan dalam kasus penderitaan ekstrem seperti
si pengemis Lazarus, Lukas memberi harapan akan suatu pembalikan eskatologis.
Harapan orang miskin itu mendapat penggenapannya dalam perjamuan pesta abadi.
Namun jaminan kasih Allah yang akhir untuk orang miskin itu tidak membuat Yesus
menunggu saja tindakan Bapa-Nya kelak; sebaliknya, justru mendorong Dia
bertindak secara solider dengan orang-orang miskin di tengah hidup mereka
sekarang.
Injil Lukas memperlihatkan
bahwa pemenuhan harapan orang lemah dan miskin di dunia ini bukan hanya
didasarkan pada beberapa tindakan Yesus selama beberapa waktu di bumi, tetapi
jawaban atas harapan mereka terletak dalam persekutuan jemaat yang digerakkan
dan diilhami oleh tindakan keberpihakan Yesus dengan orang lemah itu. Hal itu
mau diungkapkan dalam persekutuan jemaat perdana yang solider dengan yang lemah
berdasarkan pewartaan injil oleh para rasul. Tetapi perwujudan harapan kaum
miskin itu sudah mulai nyata juga dalam paguyuban murid-murid yang terkumpul di
sekitar Yesus. Dalam lingkungan murid-murid itu orang-orang miskin dan
tersingkir menerima kembali martabat mereka dan kebutuhan mereka sehari-hari
mulai dipenuhi dalam semangat berbagi dari rombongan Yesus itu. Murid-murid
sendiri yang telah meninggalkan pencahariannya, masing-masing menerima kembali
berlipat ganda pada masa ini, dan pada zaman yang akan datang hidup kekal
(18:28-30). Dalam lingkungan murid-murid itu, kaum lemah juga sudah mulai
menerima berkah kerajaan Allah sebab di situ ada semangat berbagi. Rombongan
Yesus hidup dari pemberian pengikut-pengikut yang lebih kaya (8:3).
Berkah Kerajaan itu bukan
hanya untuk suatu kelompok kecil intern. Batas kelompok murid-murid dalam Injil
Lukas adalah fluid dan elastis; dan
semangat berbagi Yesus dan murid-murid menjangkau banyak orang dalam aneka
penyembuhan dan khususnya dalam peristiwa murid-murid ikut membagi roti kepada
5000 orang. Itu pun dilakukan sebagai tanda, model, dan anutan untuk seluruh
dunia. Dalam rombongan Yesus dan jemaat Kristen, dunia mestinya menemukan
kesaksian yang meyakinkan tentang hidup setia kawan, kesederajatan, keadilan,
dan kasih. Dalam kerangka ini pun harus kita coba memahami tantangan keras yang
diberikan Yesus kepada orang-orang kaya.
Tantangan bagi orang kaya
Sementara Yesus membawa kabar baik bagi orang
miskin, dalam Injil Lukas Yesus pun sering membicarakan harta kekayaan dan
orang-orang kaya. Dalam Injil ketiga ini, tema kekayaan itu tentu saja
pertama-tama ditujukan kepada orang-orang kaya yang ada dalam jemaat Lukas
sendiri (“hai kamu yang kaya”, “janganlah engkau mengundang sahabatmu atau
saudaramu atau keluargamu atau tetanggamu yang kaya, …. undanglah orang-orang
miskin” (Luk 6:24; 14:12-13).
Injil bermaksud membuka mata umat yang kaya untuk suatu maksud baru kekayaan
mereka. Karena sangat sulit membuka mata mereka bagi makna itu, maka Yesus
/Lukas harus mulai dengan menyerukan sisi-sisi yang mengejutkan, yakni sisi
bahaya yang ada dalam harta kekayaan, untuk dari situ menunjukkan arah baru
dalam penggunaan harta.
Melalui hiperbola “lebih
mudah seekor unta melewati lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam
Kerajaan Allah" (18:24-30 par Mrk) Yesus mengungkapkan adanya konflik yang
sepertinya tak terselesaikan antara kekayaan dan kemuridan. Konflik itu sudah
sering diangkat oleh Yesus dalam kisah Lukas sebelumnya. Sangat tajam dalam
ucapan-ucapan celaka atas orang kaya yang pada masa kini sudah terhibur,
kenyang, ketawa, dan dipuji orang (6:24-26). Masalahnya ialah bahwa kekayaan
serta kenikmatan hidup kaya menimbulkan banyak kecemasan yang menghimpit
perkembangan firman dalam diri mereka (8:14). Maka murid-murid diajak untuk
berjaga-jaga agar tak tenggelam dalam gaya hidup kaya yang sarat pesta pora dan
kepentingan diri dan lupa akan kedatangan Tuhan (21:34). Orang kaya dilukiskan
sebagai orang bodoh melalui perumpamaan tentang petani kaya yang mengira
mempunyai kelimpahan harta untuk dapat makan, minum, dan bersenang-senang
bertahun-tahun lamanya, padahal malam itu juga ia mati sebagai orang yang tak
kaya pada Allah (Luk 12:13-21), Personifikasi kebodohan orang kaya yang paling
tajam ditampilkan ‑ tanpa nama ‑ dalam perumpamaan tentang Lazarus dan orang
kaya. Orang itu tak hanya acuh tak acuh terhadap si miskin yang menderita di
depan matanya tetapi lebih lagi masa bodoh terhadap Musa dan para Nabi yang
sudah sejak dahulu memperingatkan dia akan bahaya maut yang akhirnya
menimpanya.
Mengingat bahaya kekayaan
itu, tidak mengherankan bahwa Yesus dalam Lukas sering meminta dari
murid-murid-Nya pelepasan total harta milik. “Juallah segala milikmu dan berikanlah sedekah! Buatlah bagimu pundi-pundi
yang tidak dapat menjadi tua, suatu harta di surga yang tidak akan habis, yang
tidak dapat didekati pencuri dan yang tidak dirusakkan ngengat” (Luk 12:33). “Tiap-tiap orang di antara
kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala
miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk 14:33). Dari pemimpin yang sangat kaya Yesus minta, “juallah segala yang kaumiliki dan
bagi-bagikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta
di surga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku" (Luk 18:22). Hal itu sejak awal sudah
dilakukan oleh murid-murid pertama, Petrus, Yakobus, dan Yohanes, dan juga
Lewi, yang semuanya “meninggalkan segala
sesuatu, lalu mengikut Yesus” (Luk
5:11,28). Yesus, Anak Manusia, yang “tidak mempunyai tempat untuk
meletakkan kepala-Nya” (9:58), meminta dari para utusan-Nya, “Jangan membawa
apa-apa dalam perjalanan, ….” (9:3; 10:4). Dalam Bait Allah di Yesus
mengkontraskan ahli-ahli Taurat yang “menelan rumah-rumah janda” (20:47) dengan
seorang janda miskin yang “memberi dari kekurangannya, bahkan ia memberi
seluruh nafkahnya" dan yang diangkat sebagai tokoh panutan bagi
orang-orang kaya yang “memberi persembahannya dari kelimpahannya” (21:4).
Tekanan Lukas pada pelepasan total harta milik
ini tentu menimbulkan pertanyaan apa atau siapa yang dimaksudkan oleh Lukas?
Kendati kekayaan dan kemiskinan bagi Lukas lebih daripada cuma realitas materi
atau ekonomi, namun kita juga tak bisa mengelak dengan melihat kekayaan dan
kemiskinan hanya sebagai lambang eksistensi manusia (misalnya egoisme –
altruisme) saja. Dari contoh-contoh di atas juga tidak jelas bahwa tuntutan
radikal itu hanya ditujukan kepada dua belas rasul atau ketujuh puluh perutusan;
atau hanya bagi murid-murid pada masa Yesus saja; atau hanya berlaku dalam
situasi penganiayaan dan penderitaan jemaat. Di lain pihak, juga mustahil
tuntutan radikal itu dilakukan secara harfiah oleh semua orang Kristen
sepanjang abad. Yesus pun sudah mengantisipasi suatu masa di mana tuntutannya
bisa berubah, “Tetapi sekarang ini, siapa yang mempunyai pundi-pundi, hendaklah ia
membawanya, demikian juga yang mempunyai bekal” (Luke 22:36).
Kata yang terakhir tentang
topik yang sulit itu belum dikatakan, tetapi cukup masuk akallah kesimpulan
yang ditarik Mandaru: “Bagi Lukas tuntutan radikal … Yesus untuk melepaskan
semua harta terutama dimaksud sebagai kritik terhadap anggota jemaatnya yang
kaya. Mereka secara tajam ditantang untuk menggunakan harta milik mereka
sebagai pengikut-pengikut Kristus sejati. Mereka harus bersedia menolong dan
berbagi dengan anggota-anggota lain yang miskin dan menderita.”[2]
Menggunakan kekayaan secara tepat
Kesimpulan tadi tentang cara menggunakan harta
kekayaan, didukung oleh hal lain dalam Lukas yang menunjuk kepada praxis cinta
kasih dan saling berbagi dan melayani. Lukas ingin membuka mata jemaat kaya
bagi suatu cara baru menggunakan miliknya. Ada sejumlah teks Lukas yang
mencerminkan pendekatan yang positif terhadap masalah kekayaan itu.
Pertama, dalam Lukas, Yesus juga bergaul dengan
orang kaya (19:1; 23:50), sering hadir dalam perjamuan pesta (5:29; 7:36;
14:1,15), dan suka menggambarkan keselamatan akhir sebagai perjamuan pesta
(14:16; 15:11-24; 16:25 22:18). Maka Ia sama sekali tak tampak sebagai asket
yang kurang menghargai harta benda. Di mata lawannya ia malah “pelahap dan
pemabuk” (7:34). Yesus menaruh perhatian kepada kebutuhan hidup yang
sehari-hari (11:3). Kepada orang yang berkekurangan dan sakit Ia membawa Kerajaan
Allah dalam rupa tanda-tanda yang memberi mereka damai sejahtera yang nyata
(hampir semua kisah mukjizat), yang masih akan digenapi kelak dengan menjadi
puas, tertawa, dan bersukacita (6:20-23). Kepada murid yang telah meninggalkan
keluarga dan pencahariannya Ia menjanjikannya berlipat ganda, mulai dari masa
ini juga (18:29-30).
Dua teks yang telah dikutip di atas tentang
melepaskan harta, menunjukkan arah positif (“berikanlah sedekah,” 12:33;
“bagikanlah kepada orang-orang miskin,” 18:22). Sedekah adalah tema khas Lukas.
Orang-orang Farisi, “hamba-hamba uang” (16:14) yang cawan dan mangkuknya berisi
dengan apa yang mereka rampas, ditantang untuk sebaliknya memberikan isinya
sebagai sedekah (11:39-41). Pemberian sedekah dicontohkan dalam jemaat perdana
melalui Tabita, “Perempuan itu banyak sekali berbuat baik dan memberi sedekah” (Kis 9:36); dan melalui perwira
Kornelius, yang “takut akan Allah dan ia memberi banyak sedekah kepada umat
Yahudi” (Kis 10:2). Paulus pun
menjadi teladannya dengan membawa pemberian bagi bangsanya di Yerusalem (Kis
24:17).
Memberi dengan murah hati
adalah tekanan Yesus dalam Lukas: “Berilah dan kamu akan diberi: suatu takaran
yang baik, yang dipadatkan,…” (Luke
6:38); tanpa minta kembali, bahkan tidak kalau diambil, dirampas (ay.
30). Memberi dan berbagi dengan yang berkekurangan adalah bentuk pertobatan
nyata yang dituntut oleh Yohanes dalam Injil Lukas: "Barangsiapa mempunyai
dua helai baju, hendaklah ia membaginya dengan yang tidak punya, dan
barangsiapa mempunyai makanan, hendaklah ia berbuat juga demikian" (3:11).
Berbagi itu juga diwujudkan dengan mengundang orang-orang miskin dan
orang-orang cacat dan orang-orang buta dan orang-orang lumpuh ke perjamuan
(14:13,21); atau – seperti dilakukan oleh orang Samaria yang murah hati –
dengan menolong orang yang menderita dari harta miliknya sendiri (10:34-35).
Dua ikon pertobatan orang kaya
Kedua ikon Lukas yang paling perkasa untuk
menggambarkan bagaimana kekayaan dapat digunakan secara tepat bukanlah
ikon-ikon “orang kudus” tetapi tak lain daripada lukisan dramatis tentang sang
bendahara yang tidak jujur dan sang kepala pemungut cukai Zakheus.
Orang yang pertama, khususnya pujian tuannya
dalam 16:6 atas tindakannya, adalah sangat kontroversial, juga dalam ilmu
tafsir dan bahkan dalam cara menerjemahkan Lukas. Apakah perbuatan bendahara
itu mau disebut cerdik (TB) atau perbuatannya bisa dipuji sebagai bijaksana (phronimõs)? Dalam salah satu
interpretasi ketidak-jujuran bendahara ini diletakkan dalam cara ia menyewakan
tanah tuannya kepada penggarap-penggarap dengan menetapkan harga-in-natura yang
jauh terlalu tinggi, demi mendapat keuntungan besar bagi dirinya. Ketika
ketidakjujuran itu diberitahu kepada tuannya dan bendahara tak jujur itu akan
dipecat, ia di saat terakhir segera mengoreksi harga-harga yang terlalu tinggi
itu dengan melepaskan keuntungannya sendiri yang toh tidak dapat lagi ia ambil.
Di saat yang amat kritis ia melepaskan keuntungannya yang tak jujur itu untuk
mendapat sahabat-sahabat yang kelak bersedia menampungnya di rumah mereka.
Perbuatannya yang terakhir itu sungguh bijaksana, phronimõs, sehingga bahkan tuannya mesti memuji dia.
Perumpamaan itu berbicara tentang hikmat
pertobatan menjelang akhir zaman, hikmat yang ditemukan pada orang berdosa di
luar lebih daripada di dalam jemaat. Tetapi dalam penerapan di ay 9-13,
perumpamaan itu diartikan lebih harfiah dan sempit, sebagai kisah hikmat
tentang penggunaan harta kekayaannya secara tepat, yakni menggunakan kekayaan
dengan membagikan untuk menjalin persahabatan dengan orang miskin dan dengan
demikian mendapat harta dan tempat di surga. Dalam penerapan ini, harta sendiri
disebut mamon yang tidak jujur.
Alasannya bukan karena harta itu uang korupsi, tetapi karena mammon memang
cenderung menipu orang. Harta suka memberi kesan seolah-olah dapat
menyelamatkan pemiliknya, padahal justru gagal melakukan hal itu. Secara
paradoksal, mamon hanya menolong kalau melepaskannya, membagikannya kepada
orang miskin.
Itu pun paradoks yang harus dipelajari Zakheus,
kepala pemungut cukai yang kaya, ketika Yesus berjumpa dengan dia. Pemungut
cukai ini adalah potret diri ketamakan dan perampasan. Ia memeras rakyat untuk
terus menambah kekayaan dan kekuasaannya sendiri. Tetapi pintu hati pemimpin
yang kaya ini belum sama sekali tertutup bagi Tuhan, seperti juga halnya dengan
orang-orang kaya dalam jemaat Lukas. Ia/mereka masih ingin dan berusaha melihat
Tuhan, siapakah Dia, ketika Ia lewat; ya, hendaknya Ia lewat! Pintu yang masih sedikit terbuka itu memberi
kesempatan bagi Tuhan untuk mengerjakan apa yang mustahil bagi manusia.
Ketika Yesus sampai ke
tempat Zakheus, Ia melihat ke atas dan berkata: "Zakheus, segeralah turun,
sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu" (19:5). Perjumpaan dengan
Zakheus di ujung perjalanan Yesus ke Yerusalem ini menjadi rekapitulasi dan
juga prolepsis seluruh karya penyelamatan Allah saat ini. Di sini dilambangkan
saatnya Allah melalui Yesus datang tinggal bersama manusia yang berdosa, tamak,
dan perampas. Dengan kunjungan-Nya ini menggugah dan merombak manusia menjadi
orang yang suka berbagi dengan orang miskin dan bertindak benar. Orang ini
bertobat tidak hanya dengan berjanji melakukan restitusi sesuai dengan
kewajiban hukum Taurat (Kel 22:1), tetapi juga dengan berjanji secara spontan
untuk memberi separuh miliknya kepada orang-orang miskin. Janji yang radikal
itu sama sekali baru dan belum pernah terbaca dalam Kitab-Kitab Suci Israel
atau sastra rabinik. Di sini Allah melalui kunjungan Yesus memungkinkan apa
yang mustahil bagi manusia: rela berbagi dengan sesama yang membutuhkan di
dalam Kerajaan Allah.
Tindakan penyelamatan Yesus
ini memperlihatkan bahwa dalam manusia yang berdosa dan tamak tetap tinggal
seorang ahli waris Abraham. Kendati ia sudah lama menghilang, tetap ada harapan
baginya, sebab ada Anak Manusia yang datang untuk mencari yang hilang.
Pertanyaan pesimis “siapakah yang dapat diselamatkan?" (Luk 18:26) dalam kisah Zakheus
menerima jawaban yang penuh pengharapan: itu mungkin bagi orang yang masih
terbuka bagi kunjungan Tuhan sehingga Allah mampu merombak hidup manusia
menjadi benar kembali dan bermurah hati.
Kendati Injil Lukas tidak
pernah memakai akar kata koinõn-; dan
dalam terjemahan Injil Lukas tak pernah ditemukan kata solidaritas, dan
penjelasan kami di atas juga tidak memakai kata itu, namun kiranya jelas bahwa
solidaritas kaya-miskin merupakan tema sentral dan penting dalam seluruh kisah
Injil ketiga yang dengan nada keras menunjuk jalan baru kepada orang-orang kaya
dalam jemaat untuk menggunakan kekayaan mereka sedemikian sehingga tidak lagi
membahayakan hidup mereka tetapi sebaliknya membawa keselamatan bagi orang lain
dan bagi mereka sendiri. Dalam awal Kisah Para Rasul, Lukas merangkum tema
besar Injil Lukas itu dengan memperkenalkan jemaat perdana sebagai perwujudan
dari cita-cita solidaritas kaya-miskin
dalam Injil. Mereka adalah persekutuan (koinõnia) di mana segala kepunyaan mereka dijadikan kepunyaan
bersama (eikhon hapanta koina) dan
orang menjual harta milik serta membagikannya sesuai dengan keperluan
masing-masing (2:42-44; 4:32). Solidaritas kaya-miskin yang diwartakan Yesus
dalam Injil terwujud dalam jemaat perdana.
[1] Hortensius Mandaru, Solidaritas Kaya-Miskin menurut Lukas, LBI,
Yogyakarta: Kanisius, 1992, hlm. 160. Pertanyaan ini digeluti Mandaru dalam
buku tersebut, dengan dibantu aneka literatur lain tentang Injil Lukas,
khususnya Walter E. Pilgrim, Good News to
the Poor: Wealth and Poverty in Luke-Acts, Minneapolis: Augsburg, 1981.
[2] Mandaru, Solidaritas, 100.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar