Halaman

EMPOWERMENT OF LIFE

Selasa, 30 April 2013

Solidaritas Jemaat perjanjian Baru (Part. 3)

Solidaritas Jemaat Perjanjian Baru (Part. 3)




Solidaritas Kaya-Miskin dalam karya Lukas

Penelusuran arti kata koinonia telah membawa kita – selain kepada surat-surat Paulus – juga kepada karya Lukas. Kata ini dipakainya untuk menunjukkan persekutuan orang-orang Kristen perdana yang memandang kepunyaan mereka tidak sebagai miliknya masing-masing sendiri tetapi sebagai kepunyaan mereka bersama sehingga tak ada yang berkekurangan di antara mereka (Kis 2:42-44; 4:32). Apakah gambar tentang solidaritas jemaat Yerusalem ini suatu mimpi Lukas yang sejenak saja dan terisolir? Ataukah gambar itu melukiskan sesuatu yang berakar dan amat esensial dalam seluruh kisah Lukas mulai dari kabar malaikat di Lukas 1 sampai pemberitaan Injil Paulus di Roma. Apakah gambar itu termasuk inti pokok pemahaman Lukas akan kabar baik dan hidup berjemaat? Itulah menjadi pertanyaan kita dalam bawah ini.
Yesus dalam Lukas 4 langsung memperkenalkan misinya sebagai perutusan “untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin” (4:18). Tema sentral itu dalam karya Lukas dikembangkan dengan dua tekanan yang bisa dirasakan saling bertegang. Pertama, Yesus terus menerus ditampilkan sebagai pemerhati, peneguh, penyembuh, dan pembebas orang-orang miskin yang sakit dan disingkirkan. Kedua, dalam Injil Lukas ajaran Yesus sering berupa teguran dan ancaman bagi orang-orang terkemuka yang kaya.
Apakah dari dua tekanan itu harus disimpulkan bahwa “Kabar Baik bagi orang miskin dalam Lukas serentak menjadi Kabar Buruk bagi orang kaya”?[1] Atau kedua tekanan ini dengan salah satu cara dapat menjadi kabar baik serentak bagi kaum miskin dan orang-orang kaya yang keduanya hadir dalam jemaat Lukas sendiri dan dalam semua jemaat sepanjang abad? Bagaimana keberpihakan Yesus kepada orang miskin dan kritiknya terhadap orang kaya menyatu dalam pewartaan kabar baik Injil Lukas?
Kerajaan Allah jelas-jelas dinyatakan adalah milik orang miskin (6:20), dan tak mungkin dimasuki oleh orang kaya. Namun demikian, ketidakmungkinan bagi manusia itu dikatakan tidak mustahil bagi Allah. Ketiga Injil Sinoptik menegaskan bahwa Tuhan sendiri memungkinkan orang kaya berpartisipasi bersama orang miskin dalam Kerajaan Allah (Mrk 10:21-27, dsjj) . Lukaslah satu-satunya penginjil yang penasaran untuk memperlihatkan lebih jauh dengan cara mana Tuhan membuka kemungkinan itu bagi orang kaya. Untuk itu kita perlu melihat masing-masing tekanan yang disebut di atas.

Kabar Baik bagi orang miskin

Sama seperti masyarakat Galilea pada masa Yesus, begitu juga jemaat Lukas  di Asia atau Yunani terdiri atas lebih banyak orang miskin tetapi serentak juga sejumlah orang yang mampu dan kaya. Injil Lukas jelas menyapa kedua-duanya (“berbahagialah kamu yang miskin, …celakalah kamu yang kaya..6:20,24), dan berusaha mempertemukan mereka di satu meja perjamuan (“undanglah orang-orang miskin, cacat, lumpuh dan buta” 14:13,21). Hal itu tampak mustahil bagi masyarakat Helenis abad pertama sebab orang-orang yang dari lapisan sosial berbeda tidak pernah akan berkumpul di satu meja perjamuan atau dalam satu kelompok (misalnya collegia).
Untuk jemaat campuran dari pelbagai lapisan masyarakat, kaya dan miskin seperti itu Lukas tak hanya sejak awal memperkenalkan Yesus sebagai pembawa injil bagi kaum miskin, tertindas, tawanan dan buta (4:18-19), tetapi mempertahankan posisi sentral mereka dalam karya Yesus sepanjang kisah injil. Yesus menyatakan mereka bahagia (6:20-23), dan perwujudan pernyataan itu dapat dilaporkan oleh saksi mata kepada Yohanes dalam penjara: memang “orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik” (7:22).
Kesaksian ini dan banyak contoh lain dalam Injil Lukas, sampai dengan penyembuhan pengemis buta Bartimeus di ujung jalan ke Yerusalem (18:35-43), mencegah kita untuk membaca ucapan bahagia Yesus atas orang miskin sebagai janji akhir zaman saja. Memang akan ada penggenapan eskatologis; dan dalam kasus penderitaan ekstrem seperti si pengemis Lazarus, Lukas memberi harapan akan suatu pembalikan eskatologis. Harapan orang miskin itu mendapat penggenapannya dalam perjamuan pesta abadi. Namun jaminan kasih Allah yang akhir untuk orang miskin itu tidak membuat Yesus menunggu saja tindakan Bapa-Nya kelak; sebaliknya, justru mendorong Dia bertindak secara solider dengan orang-orang miskin di tengah hidup mereka sekarang.
Injil Lukas memperlihatkan bahwa pemenuhan harapan orang lemah dan miskin di dunia ini bukan hanya didasarkan pada beberapa tindakan Yesus selama beberapa waktu di bumi, tetapi jawaban atas harapan mereka terletak dalam persekutuan jemaat yang digerakkan dan diilhami oleh tindakan keberpihakan Yesus dengan orang lemah itu. Hal itu mau diungkapkan dalam persekutuan jemaat perdana yang solider dengan yang lemah berdasarkan pewartaan injil oleh para rasul. Tetapi perwujudan harapan kaum miskin itu sudah mulai nyata juga dalam paguyuban murid-murid yang terkumpul di sekitar Yesus. Dalam lingkungan murid-murid itu orang-orang miskin dan tersingkir menerima kembali martabat mereka dan kebutuhan mereka sehari-hari mulai dipenuhi dalam semangat berbagi dari rombongan Yesus itu. Murid-murid sendiri yang telah meninggalkan pencahariannya, masing-masing menerima kembali berlipat ganda pada masa ini, dan pada zaman yang akan datang hidup kekal (18:28-30). Dalam lingkungan murid-murid itu, kaum lemah juga sudah mulai menerima berkah kerajaan Allah sebab di situ ada semangat berbagi. Rombongan Yesus hidup dari pemberian pengikut-pengikut yang lebih kaya (8:3).
Berkah Kerajaan itu bukan hanya untuk suatu kelompok kecil intern. Batas kelompok murid-murid dalam Injil Lukas adalah fluid dan elastis; dan semangat berbagi Yesus dan murid-murid menjangkau banyak orang dalam aneka penyembuhan dan khususnya dalam peristiwa murid-murid ikut membagi roti kepada 5000 orang. Itu pun dilakukan sebagai tanda, model, dan anutan untuk seluruh dunia. Dalam rombongan Yesus dan jemaat Kristen, dunia mestinya menemukan kesaksian yang meyakinkan tentang hidup setia kawan, kesederajatan, keadilan, dan kasih. Dalam kerangka ini pun harus kita coba memahami tantangan keras yang diberikan Yesus kepada orang-orang kaya.

Tantangan bagi orang kaya

Sementara Yesus membawa kabar baik bagi orang miskin, dalam Injil Lukas Yesus pun sering membicarakan harta kekayaan dan orang-orang kaya. Dalam Injil ketiga ini, tema kekayaan itu tentu saja pertama-tama ditujukan kepada orang-orang kaya yang ada dalam jemaat Lukas sendiri (“hai kamu yang kaya”, “janganlah engkau mengundang sahabatmu atau saudaramu atau keluargamu atau tetanggamu yang kaya, …. undanglah orang-orang miskin” (Luk 6:24; 14:12-13). Injil bermaksud membuka mata umat yang kaya untuk suatu maksud baru kekayaan mereka. Karena sangat sulit membuka mata mereka bagi makna itu, maka Yesus /Lukas harus mulai dengan menyerukan sisi-sisi yang mengejutkan, yakni sisi bahaya yang ada dalam harta kekayaan, untuk dari situ menunjukkan arah baru dalam penggunaan harta.
Melalui hiperbola “lebih mudah seekor unta melewati lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah" (18:24-30 par Mrk) Yesus mengungkapkan adanya konflik yang sepertinya tak terselesaikan antara kekayaan dan kemuridan. Konflik itu sudah sering diangkat oleh Yesus dalam kisah Lukas sebelumnya. Sangat tajam dalam ucapan-ucapan celaka atas orang kaya yang pada masa kini sudah terhibur, kenyang, ketawa, dan dipuji orang (6:24-26). Masalahnya ialah bahwa kekayaan serta kenikmatan hidup kaya menimbulkan banyak kecemasan yang menghimpit perkembangan firman dalam diri mereka (8:14). Maka murid-murid diajak untuk berjaga-jaga agar tak tenggelam dalam gaya hidup kaya yang sarat pesta pora dan kepentingan diri dan lupa akan kedatangan Tuhan (21:34). Orang kaya dilukiskan sebagai orang bodoh melalui perumpamaan tentang petani kaya yang mengira mempunyai kelimpahan harta untuk dapat makan, minum, dan bersenang-senang bertahun-tahun lamanya, padahal malam itu juga ia mati sebagai orang yang tak kaya pada Allah (Luk 12:13-21), Personifikasi kebodohan orang kaya yang paling tajam ditampilkan ‑ tanpa nama ‑ dalam perumpamaan tentang Lazarus dan orang kaya. Orang itu tak hanya acuh tak acuh terhadap si miskin yang menderita di depan matanya tetapi lebih lagi masa bodoh terhadap Musa dan para Nabi yang sudah sejak dahulu memperingatkan dia akan bahaya maut yang akhirnya menimpanya.
Mengingat bahaya kekayaan itu, tidak mengherankan bahwa Yesus dalam Lukas sering meminta dari murid-murid-Nya pelepasan total harta milik. “Juallah segala milikmu dan berikanlah sedekah! Buatlah bagimu pundi-pundi yang tidak dapat menjadi tua, suatu harta di surga yang tidak akan habis, yang tidak dapat didekati pencuri dan yang tidak dirusakkan ngengat” (Luk 12:33). “Tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk 14:33). Dari pemimpin yang sangat kaya Yesus minta, “juallah segala yang kaumiliki dan bagi-bagikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku" (Luk 18:22). Hal itu sejak awal sudah dilakukan oleh murid-murid pertama, Petrus, Yakobus, dan Yohanes, dan juga Lewi, yang semuanya “meninggalkan segala sesuatu, lalu mengikut Yesus” (Luk 5:11,28). Yesus, Anak Manusia, yang “tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya” (9:58), meminta dari para utusan-Nya, “Jangan membawa apa-apa dalam perjalanan, ….” (9:3; 10:4). Dalam Bait Allah di Yesus mengkontraskan ahli-ahli Taurat yang “menelan rumah-rumah janda” (20:47) dengan seorang janda miskin yang “memberi dari kekurangannya, bahkan ia memberi seluruh nafkahnya" dan yang diangkat sebagai tokoh panutan bagi orang-orang kaya yang “memberi persembahannya dari kelimpahannya” (21:4). 
Tekanan Lukas pada pelepasan total harta milik ini tentu menimbulkan pertanyaan apa atau siapa yang dimaksudkan oleh Lukas? Kendati kekayaan dan kemiskinan bagi Lukas lebih daripada cuma realitas materi atau ekonomi, namun kita juga tak bisa mengelak dengan melihat kekayaan dan kemiskinan hanya sebagai lambang eksistensi manusia (misalnya egoisme – altruisme) saja. Dari contoh-contoh di atas juga tidak jelas bahwa tuntutan radikal itu hanya ditujukan kepada dua belas rasul atau ketujuh puluh perutusan; atau hanya bagi murid-murid pada masa Yesus saja; atau hanya berlaku dalam situasi penganiayaan dan penderitaan jemaat. Di lain pihak, juga mustahil tuntutan radikal itu dilakukan secara harfiah oleh semua orang Kristen sepanjang abad. Yesus pun sudah mengantisipasi suatu masa di mana tuntutannya bisa berubah, “Tetapi sekarang ini, siapa yang mempunyai pundi-pundi, hendaklah ia membawanya, demikian juga yang mempunyai bekal” (Luke 22:36).
Kata yang terakhir tentang topik yang sulit itu belum dikatakan, tetapi cukup masuk akallah kesimpulan yang ditarik Mandaru: “Bagi Lukas tuntutan radikal … Yesus untuk melepaskan semua harta terutama dimaksud sebagai kritik terhadap anggota jemaatnya yang kaya. Mereka secara tajam ditantang untuk menggunakan harta milik mereka sebagai pengikut-pengikut Kristus sejati. Mereka harus bersedia menolong dan berbagi dengan anggota-anggota lain yang miskin dan menderita.”[2]

Menggunakan kekayaan secara tepat

Kesimpulan tadi tentang cara menggunakan harta kekayaan, didukung oleh hal lain dalam Lukas yang menunjuk kepada praxis cinta kasih dan saling berbagi dan melayani. Lukas ingin membuka mata jemaat kaya bagi suatu cara baru menggunakan miliknya. Ada sejumlah teks Lukas yang mencerminkan pendekatan yang positif terhadap masalah kekayaan itu.
Pertama, dalam Lukas, Yesus juga bergaul dengan orang kaya (19:1; 23:50), sering hadir dalam perjamuan pesta (5:29; 7:36; 14:1,15), dan suka menggambarkan keselamatan akhir sebagai perjamuan pesta (14:16; 15:11-24; 16:25 22:18). Maka Ia sama sekali tak tampak sebagai asket yang kurang menghargai harta benda. Di mata lawannya ia malah “pelahap dan pemabuk” (7:34). Yesus menaruh perhatian kepada kebutuhan hidup yang sehari-hari (11:3). Kepada orang yang berkekurangan dan sakit Ia membawa Kerajaan Allah dalam rupa tanda-tanda yang memberi mereka damai sejahtera yang nyata (hampir semua kisah mukjizat), yang masih akan digenapi kelak dengan menjadi puas, tertawa, dan bersukacita (6:20-23). Kepada murid yang telah meninggalkan keluarga dan pencahariannya Ia menjanjikannya berlipat ganda, mulai dari masa ini juga (18:29-30).
Dua teks yang telah dikutip di atas tentang melepaskan harta, menunjukkan arah positif (“berikanlah sedekah,” 12:33; “bagikanlah kepada orang-orang miskin,” 18:22). Sedekah adalah tema khas Lukas. Orang-orang Farisi, “hamba-hamba uang” (16:14) yang cawan dan mangkuknya berisi dengan apa yang mereka rampas, ditantang untuk sebaliknya memberikan isinya sebagai sedekah (11:39-41). Pemberian sedekah dicontohkan dalam jemaat perdana melalui Tabita, “Perempuan itu banyak sekali berbuat baik dan memberi sedekah” (Kis 9:36); dan melalui perwira Kornelius, yang “takut akan Allah dan ia memberi banyak sedekah kepada umat Yahudi” (Kis 10:2). Paulus pun menjadi teladannya dengan membawa pemberian bagi bangsanya di Yerusalem (Kis 24:17).
Memberi dengan murah hati adalah tekanan Yesus dalam Lukas: “Berilah dan kamu akan diberi: suatu takaran yang baik, yang dipadatkan,…” (Luke 6:38); tanpa minta kembali, bahkan tidak kalau diambil, dirampas (ay. 30). Memberi dan berbagi dengan yang berkekurangan adalah bentuk pertobatan nyata yang dituntut oleh Yohanes dalam Injil Lukas: "Barangsiapa mempunyai dua helai baju, hendaklah ia membaginya dengan yang tidak punya, dan barangsiapa mempunyai makanan, hendaklah ia berbuat juga demikian" (3:11). Berbagi itu juga diwujudkan dengan mengundang orang-orang miskin dan orang-orang cacat dan orang-orang buta dan orang-orang lumpuh ke perjamuan (14:13,21); atau – seperti dilakukan oleh orang Samaria yang murah hati – dengan menolong orang yang menderita dari harta miliknya sendiri (10:34-35).

Dua ikon pertobatan orang kaya

Kedua ikon Lukas yang paling perkasa untuk menggambarkan bagaimana kekayaan dapat digunakan secara tepat bukanlah ikon-ikon “orang kudus” tetapi tak lain daripada lukisan dramatis tentang sang bendahara yang tidak jujur dan sang kepala pemungut cukai Zakheus.
Orang yang pertama, khususnya pujian tuannya dalam 16:6 atas tindakannya, adalah sangat kontroversial, juga dalam ilmu tafsir dan bahkan dalam cara menerjemahkan Lukas. Apakah perbuatan bendahara itu mau disebut cerdik (TB) atau perbuatannya bisa dipuji sebagai bijaksana (phronimõs)? Dalam salah satu interpretasi ketidak-jujuran bendahara ini diletakkan dalam cara ia menyewakan tanah tuannya kepada penggarap-penggarap dengan menetapkan harga-in-natura yang jauh terlalu tinggi, demi mendapat keuntungan besar bagi dirinya. Ketika ketidakjujuran itu diberitahu kepada tuannya dan bendahara tak jujur itu akan dipecat, ia di saat terakhir segera mengoreksi harga-harga yang terlalu tinggi itu dengan melepaskan keuntungannya sendiri yang toh tidak dapat lagi ia ambil. Di saat yang amat kritis ia melepaskan keuntungannya yang tak jujur itu untuk mendapat sahabat-sahabat yang kelak bersedia menampungnya di rumah mereka. Perbuatannya yang terakhir itu sungguh bijaksana, phronimõs, sehingga bahkan tuannya mesti memuji dia.
Perumpamaan itu berbicara tentang hikmat pertobatan menjelang akhir zaman, hikmat yang ditemukan pada orang berdosa di luar lebih daripada di dalam jemaat. Tetapi dalam penerapan di ay 9-13, perumpamaan itu diartikan lebih harfiah dan sempit, sebagai kisah hikmat tentang penggunaan harta kekayaannya secara tepat, yakni menggunakan kekayaan dengan membagikan untuk menjalin persahabatan dengan orang miskin dan dengan demikian mendapat harta dan tempat di surga. Dalam penerapan ini, harta sendiri disebut mamon yang tidak jujur. Alasannya bukan karena harta itu uang korupsi, tetapi karena mammon memang cenderung menipu orang. Harta suka memberi kesan seolah-olah dapat menyelamatkan pemiliknya, padahal justru gagal melakukan hal itu. Secara paradoksal, mamon hanya menolong kalau melepaskannya, membagikannya kepada orang miskin.
Itu pun paradoks yang harus dipelajari Zakheus, kepala pemungut cukai yang kaya, ketika Yesus berjumpa dengan dia. Pemungut cukai ini adalah potret diri ketamakan dan perampasan. Ia memeras rakyat untuk terus menambah kekayaan dan kekuasaannya sendiri. Tetapi pintu hati pemimpin yang kaya ini belum sama sekali tertutup bagi Tuhan, seperti juga halnya dengan orang-orang kaya dalam jemaat Lukas. Ia/mereka masih ingin dan berusaha melihat Tuhan, siapakah Dia, ketika Ia lewat; ya, hendaknya Ia lewat!  Pintu yang masih sedikit terbuka itu memberi kesempatan bagi Tuhan untuk mengerjakan apa yang mustahil bagi manusia.
Ketika Yesus sampai ke tempat Zakheus, Ia melihat ke atas dan berkata: "Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu" (19:5). Perjumpaan dengan Zakheus di ujung perjalanan Yesus ke Yerusalem ini menjadi rekapitulasi dan juga prolepsis seluruh karya penyelamatan Allah saat ini. Di sini dilambangkan saatnya Allah melalui Yesus datang tinggal bersama manusia yang berdosa, tamak, dan perampas. Dengan kunjungan-Nya ini menggugah dan merombak manusia menjadi orang yang suka berbagi dengan orang miskin dan bertindak benar. Orang ini bertobat tidak hanya dengan berjanji melakukan restitusi sesuai dengan kewajiban hukum Taurat (Kel 22:1), tetapi juga dengan berjanji secara spontan untuk memberi separuh miliknya kepada orang-orang miskin. Janji yang radikal itu sama sekali baru dan belum pernah terbaca dalam Kitab-Kitab Suci Israel atau sastra rabinik. Di sini Allah melalui kunjungan Yesus memungkinkan apa yang mustahil bagi manusia: rela berbagi dengan sesama yang membutuhkan di dalam Kerajaan Allah.
Tindakan penyelamatan Yesus ini memperlihatkan bahwa dalam manusia yang berdosa dan tamak tetap tinggal seorang ahli waris Abraham. Kendati ia sudah lama menghilang, tetap ada harapan baginya, sebab ada Anak Manusia yang datang untuk mencari yang hilang. Pertanyaan pesimis “siapakah yang dapat diselamatkan?" (Luk 18:26) dalam kisah Zakheus menerima jawaban yang penuh pengharapan: itu mungkin bagi orang yang masih terbuka bagi kunjungan Tuhan sehingga Allah mampu merombak hidup manusia menjadi benar kembali dan bermurah hati.
Kendati Injil Lukas tidak pernah memakai akar kata koinõn-; dan dalam terjemahan Injil Lukas tak pernah ditemukan kata solidaritas, dan penjelasan kami di atas juga tidak memakai kata itu, namun kiranya jelas bahwa solidaritas kaya-miskin merupakan tema sentral dan penting dalam seluruh kisah Injil ketiga yang dengan nada keras menunjuk jalan baru kepada orang-orang kaya dalam jemaat untuk menggunakan kekayaan mereka sedemikian sehingga tidak lagi membahayakan hidup mereka tetapi sebaliknya membawa keselamatan bagi orang lain dan bagi mereka sendiri. Dalam awal Kisah Para Rasul, Lukas merangkum tema besar Injil Lukas itu dengan memperkenalkan jemaat perdana sebagai perwujudan dari cita-cita solidaritas kaya-miskin  dalam Injil. Mereka adalah persekutuan (koinõnia) di mana segala kepunyaan mereka dijadikan kepunyaan bersama (eikhon hapanta koina) dan orang menjual harta milik serta membagikannya sesuai dengan keperluan masing-masing (2:42-44; 4:32). Solidaritas kaya-miskin yang diwartakan Yesus dalam Injil terwujud dalam jemaat perdana.




[1]     Hortensius Mandaru, Solidaritas Kaya-Miskin menurut Lukas, LBI, Yogyakarta: Kanisius, 1992, hlm. 160. Pertanyaan ini digeluti Mandaru dalam buku tersebut, dengan dibantu aneka literatur lain tentang Injil Lukas, khususnya Walter E. Pilgrim, Good News to the Poor: Wealth and Poverty in Luke-Acts, Minneapolis: Augsburg, 1981.
[2]     Mandaru, Solidaritas, 100.
 

Tidak ada komentar: